Rabu, 10 Februari 2010

Paul Widyawan dedengkot paduan suara (Sharing dari Sdr. Lambertus Hurek)

Paul Widyawan dedengkot paduan suara

"Cahaya Suci", komposisi SATB karya Paul Widyawan, ini merupakan lagu liturgi inkulturasi bergaya Sunda. Cukup populer di Jawa Timur.


Nama PAUL WIDYAWAN tentu tak asing lagi di kalangan aktivis paduan suara di Indonesia. Lebih-lebih mereka yang pernah bergiat di lingkungan paduan suara Gereja Katolik. Paul Widyawan juga populer di kalangan paduan suara mahasiswa yang gemar membawakan lagu-lagu nusantara. Juga panitia lomba paduan suara yang menginginkan juri berpengalaman, tahu benar seluk-beluk paduan suara.

Setelah aktif di paduan suara di Jawa Timur pada 1990-an, saya semakin sadar bahwa Paul Widyawan ternyata dedengkot paduan suara yang punya begitu banyak 'pengikut' di kalangan aktivis kor gereja. Para pelatih di lingkungan, wilayah, paroki [kor inti], mudika, hingga komisi musik liturgi keuskupan [Malang dan Surabaya] selalu menyebut nama Paul Widyawan dan Pastor Karl Edmund Prier SJ sebagai rujukan.

"Nyanyinya jangan gitu lho. Menurut Paul Widyawan, bernyanyi yang benar harus begini," kata Bu Bambang, pianis klasik dan pelatih paduan suara Lingkungan Santo Thomas, Paroki Celaket, Kota Malang, kepada saya. Waktu itu saya diminta menjadi solo tenor sekaligus pemazmur di gereja.

Saya membawakan lagu 'Oh, Ke Manakah Arah Perahu' ciptaan dan aransemen Paul Widyawan, tapi dianggap tidak pas. "Mulutmu sudah buka, tapi belum lebar sehingga 'oooo' belum bulat. Jangan malu-malu buka mulut ya?" tegas Bu Bambang yang memang sangat tegas. Hehehe.... Memang, kalau nyanyi di paduan suara itu mulut wajib dibuka lebar-lebar, artikulasi jelas, vokalisi, dan macam-macam lagi. Komplet deh!

Saat kuliah di Universitas Jember, kemudian aktif di paduan suara gereja dan mahasiswa, nama Paul Widyawan lagi-lagi disebut. Mas Joko, sang pelatih dan dirigen Paroki Jember, ternyata muridnya dedengkot musik dari Pusat Musik Liturgi [PML] Jogjakarta itu. Hampir semua buku musik terbitan PML dia punya. Paling banyak, ya, garapan Paul Widyawan.

"Katanya Paul Widyawan itu begini lho," kata Suster Elsa, organis di Jember pada 1990-an. "Wah, kalau sampeyan nyanyinya kayak begitu, ya, dimarahi Paul Widyawan," tambah teman lain. Saya geleng-geleng kepala menyaksikan kenyataan ini. Paul Widyawan ternyata punya pengaruh luar biasa di paduan suara. Jadi rujukan teman-teman paduan suara di gereja [Katolik].

Saya pindah ke Surabaya, tapi tidak aktif lagi di paduan suara. Tapi saya masih sering berdiskusi dengan teman-teman eks aktivis paduan suara mahasiswa ITS, Universitas Airlangga, Universitas Surabaya, Universitas Petra, Universitas Jember, IKIP Malang, IKIP Surabaya. Eh, nama Paul Widyawan kembali dirujuk. Orang Flores yang belajar kor di Jawa, ya, rujukannya ke PML: berguru langsung ke Paul Widyawan dan Romo Prier.

Saaat ikut lomba paduan suara antaruniversitas di Jawa Timur, Paul Widyawan tampil sebagai juri. Paul tak sekadar juri, tapi juga selalu memberi masukan tentang teknik vokal, bagaimana harus tampil di panggung, dan sebagainya. Paul mengkritik keras teman-teman dirigen PSM [paduan suara mahasiswa] yang suka mengatur-atur posisi penyanyi di panggung. Padahal, tugas dirigen hanya mendireksi atau memimpin nyanyian atau musik.

"Saat geladi bersih posisi penyanyi sudah harus jelas. Jadi, waktu naik panggung nggak perlu diatur-atur lagi. Penyanyi masuk satu per satu, cari posisi, terakhir dirigen naik. Lalu mulai menyanyi," kata Paul Widyawan saat menjadi juri lomba paduan suara se-Jawa Timur di kampus Universitas Brawijaya, Malang.

Saya tidak tahu apakah resep dari Paul Widyawan ini masih diikuti atau tidak. Tapi saya sangat sepakat dengan masukan Paul. Selama ini terlalu banyak paduan suara menghabiskan waktu hanya untuk menata penyanyi di atas panggung. Belum lagi gaya dirigen yang lucu dan aneh-aneh.

Mengapa nama Paul Widyawan sangat mencorong, bahkan dia punya 'pengikut' di mana-mana? Apalagi, di kalangan Gereja Katolik?

Pertama-tama, kiprah Paul Widyawan tidak lepas dari Pusat Musik Liturgi [PML] di Jogjakarta. PML didirikan Pastor Karl Edmund Prier SJ pada 11 Juli 1971 sebagai dapur pengolah musik liturgi [musik untuk perayaan ekaristi atau ibadah di Gereja Katolik]. Sejak awal PML bertekad untuk mengolah musik khas nusantara sebagai bahan dasar musik liturgi. Nah, Romo Prier 'berduet' dengan Paul Widyawan untuk mengembangkan PML.

Hasilnya luar biasa. Paul Widyawan dan Prier mengolah musik etnik Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Minang, Flores [ada macam-macam versi], Timor, Maluku [beberapa versi], Papua [beberapa versi], dan seterusnya. Ini karena PML secara teratur bikin lokakarya komposisi di berbagai daerah di Indonesia sejak 1970-an. PML mengundang pemusik/komponis lokal kemudian diajak diskusi bersama Paul Widyawan dan Prier, bikin komposisi, susun lirik, bikin aransemen.

Komposisi itu kemudian dipentaskan, diapresiasi bersama. Pada awal 1980-an PML merilis MADAH BAKTI dan KIDUNG ADI [berbahasa Jawa], buku nyanyian dan doa untuk Gereja Katolik di Indonesia. Berbeda dengan buku-buku nyanyian gerejawi lainnya, 60-70 persen MADAH BAKTI ditulis oleh orang Indonesia dengan gaya etnik di tanah air. Maka, ada misa gaya Flores, Manado, Jawa, Batak, Dayak, keroncong, gending, Papua, Maluku.

Hampir semua daerah terwakili di MADAH BAKTI. Lagu-lagu gaya Flores paling banyak dan paling populer sampai hari ini. Saya, orang kampung asal Flores Timur, ikut bangga karena musik rakyat di daerah kami ternyata paling mewarnai liturgi di Indonesia. Karya-karya Paul Widyawan pun sangat dominan. Boleh dikata, sebagian besar komposisi baru hasil lokakarya di daerah-daerah diaransemen oleh Paul Widyawan. Maka, saya sering bilang kepada teman-teman aktivis paduan suara [bercanda]: Paul Widyawan itu raja aransemen paduan suara paling produktif di Indonesia.

Sebagai komponis yang kaya pengalaman, belajar khusus di Eropa, Paul Widyawan menulis aransemen kor dengan berbagai tingkat kesulitan. Kami, di lingkungan Gereja Katolik, membagi komposisi paduan suara dalam enam taraf kesulitan: A sangat mudah, B mudah, C sedang, D lumayan, E sedikit sulit, F sulit. Karena MADAH BAKTI itu komposisi musik liturgi untuk umat, maka taraf kesulitannya paling banter C. Ada beberapa yang D, tapi masih bisa diatasi oleh paduan suara kebanyakan.

Setelah menggeluti paduan suara, bahkan sempat menjadi pelatih, akhirnya saya bisa menangkap karakter atau ciri khas Paul Widyawan. Apa saja ciri khas Paul Widyawan? Saya kasih bocoran sedikit.

1. Melodi pokok [di gereja biasa disebut cantus firmus atau CF] tidak selalu di sopran. CF bisa berpindah-pindah dari sopran, alto, tenor, bas. Pola ini beda dengan kebiasaan paduan suara di lingkungan gereja umumnya.

Karena CF ganti-ganti, empat suara harus sangat fokus, konsentrasi, tak boleh salah. Kalau melamun, maka bangunan nyanyian akan rusak. Saya amati, banyak kor di gereja yang kacau karena tidak serius berlatih, tapi memaksakan memakai aransemen Paul Widyawan.

2. Nada-nada sopran [kadang-kadang tenor] sangat tinggi. Loncatan nada kerap kali sangat ekstrem. Sopran harus berlatih sangat keras, tahu teknik vokal, agar bisa nyanyi dengan enak. Register perut, dada, kepala harus mulus, tidak terdengar ngoyo atau maksa.

3. Terkait nomor dua, sopran sering dipecah dua atau tiga [S1, S2, S3]. Suara-suara atas alias coloratura ini untuk hiasan atau ornamen.

Pola macam ini kerap dipakai VOCALISTA SONORA, paduan suara yang dipimpin Paul Widyawan, dalam festival-festivalnya. Oh, ya, VOCALISTA SONORA alias VOCASON kerap konser di berbagai daerah di Indonesia untuk 'kasih contoh' bagaimana menyanyi secara baik dan benar. VOCASON juga pernah tur beberapa kali ke Eropa antara lain tahun 1976 dan 1988. VOCASON merupakan paduan suara yang mendapat fasilitas khusus dari PML. Alumninya tersebar di seluruh Indonesia, dan menjadi pelatih paduan suara gerejawi, sekolah, kampus, umum.

4. Paul Widyawan senang menjadikan suara manusia sebagai pengganti alat musik, desah angin, suara daun, dan sebagainya.

5. Paul Widyawan menolak tegas pola aransemen musik etnik, misal pentatonik Jawa atau Dayak, dengan pendekatan musik Barat. Karena itu, lagu-lagu bernuansa Jawa niscaya menggunakan 'sistem balungan'. Polanya seperti kanon, nyanyi bersahut-sahutan. Menurut Paul, aransemen ala piano klasik justru membuat musik nusantara kehilangan roh.

6. Paul Widyawan sangat menginginkan kekhasan lagu daerah. Menyanyi ala Sunda, ya, banyak menggunakan suara hidung [nasal]. Papua, ya, meriah kayak orang menari dan menyanyi di pedalaman kampung Suku Dani. Jangan sekali-kali memaksakan cara menyanyi ala Barat alias bel canto di nyanyian daerah.

7. Instrumen asli daerah sangat diutamakan. Paul Widyawan kerap mengkritik lomba-lomba paduan suara mahasiswa yang terkesan 'membakukan' piano sebagai instrumen pengiring. Iringan piano, dengan harmoni Barat, justru merusak lagu, kata Paul.

8. Aransemen paduan suara karya Paul Widyawan tidak berpanjang-panjang. DOMIDOW, lagu rakyat Papua, misalnya, hanya satu halaman. Bandingkan dengan aransemen paduan suara mahasiswa yang rata-rata di atas lima halaman.

Sebab, bagi Paul, aransemen yang pendek itu akan hidup jika dibawakan oleh dirigen yang mampu menghidupi musik. IKIP Malang menjadi juara pertama ketika membawakan DOMIDOW yang pendek. Adapun kampus-kampus lain, saya lihat, mengolah aransemen secara panjang lebar.

9. Paul Widyawan senang menggunakan solo sopran/tenor dalam aransemen-aransemennya. Ini tidak gampang untuk paduan suara pemula. Menemukan solis yang benar-benar layak ditampilkan, wah, susahnya minta ampun. Saya pernah beberapa kali mengganti partitur hanya karena solis yang saya tunjuk sakit atau berhalangan.

Paul Widyawan itu, selain pencipta lagu, penyusun aransemen, penata musik, dirigen, manajer paduan suara, juga penyanyi hebat. Suaranya tenor, menggelegar. Karena itu, saya duga, dia ingin sekali menampilkan solis di lagu-lagu paduan suara. Dengan solis, maka SATB [sopran, alto, tenor, bas] hanya bertugas sebagai pengiring atau backing vocal.

10. Kerap menggunakan melodi yang tidak lazim. Dan sulit untuk paduan suara pemula. Biasanya, lagu-lagu kita paling banter pakai triol [tiga nada dinyanyikan dalam satu ketuk], kadang-kadang kuartol [empat nada, satu ketuk]. Paul Widyawan, demi kepentingan artistik, memasukkan lima, enam, tujuh... nada dalam satu ketuk.

Bagaimana cara menyanyinya? Harus Konsentrasi penuh dan punya kemampuan di atas rata-rata.

Kira-kira ini dulu catatan saya tentang Paul Widyawan. Orang Jogjakarta ini punya dedikasi luar biasa pada musik, khususnya paduan suara. Saya tahu, banyak orang berkecimpung sebagai pembina paduan suara, lebih terkenal, lebih berprestasi ketimbang Paul. Tapi, ketahuilah, komponis yang benar-benar masuk keluar kampung untuk 'menggali' musik tradisi nusantara, ya, siapa lagi kalau bukan Paul Widyawan.


BEBERAPA BUKU PARTITUR KARYA PAUL WIDYAWAN

1. Ondel-Ondel
2. Domidow
3. Bolelebo
4. Kambanglah Bungo
5. Dami Piranta
6. Folksong
7. Delima Natal
8. Vocasonatal
9. Buluh Puncak Awangan
10. Yerusalem Kota Surgawi

Buku-buku, kaset/CD, bisa dipesan ke:

PUSAT MUSIK LITURGI

Jalan Ahmad Jazuli 2 Jogjakarta 55224
Telepon [0274] 566695
Faksimili [0274] 541641
E-mail pml@idola.net.id

Kredit foto: Steve Adinegoro dan majalah HIDUP.

2 komentar:

  1. Sy pernah belajar musik liturgi di PML jogjakarta.... Persis ya kursus PML dng dua gtu utama... Siapa lagi kalo bukan pastor Karl primer sj dan mas Paul widyawan.... Memang mereka berdua sangat hebat di bidangnya...

    BalasHapus