Minggu, 24 Januari 2010

Tata Gerak dalam Berliturgi

Tata Gerak, Sikap Tubuh

Prostratio

Sebagai perayaan manusiawi, Perayaan Ekaristi juga memerlukan ekspresi diri manusiawi. Maka, tata gerak atau sikap tubuh seluruh jemaat dan para pelayannya juga menjadi bagian penting dalam simbolisasi kebersamaan dan kesatuan Gereja yang sedang berdoa.

Untuk Apa?

Tata gerak dan sikap tubuh imam, diakon, para pelayan, dan jemaat tentu punya maksud. Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan Liturgi suci. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dan membangun sikap batin yang sama pula. Maka, jika dilakukan dengan baik:
(1) seluruh perayaan memancarkan keindahan dan sekaligus kesederhanaan yang anggun;
(2) makna aneka bagian perayaan dipahami secara tepat dan penuh; dan
(3) partisipasi seluruh jemaat ditingkatkan (PUMR 42).

Bolehkah Mengubah?

Sebenarnya tidak secara mutlak dilarang untuk mengubah tata gerak dan sikap tubuh. Tapi, pesan PUMR 42 sebaiknya diperhatikan dengan baik: “... ketentuan hukum liturgi dan tradisi Ritus Romawi serta kesejahteraan rohani umat Allah harus lebih diutamakan daripada selera pribadi dan pilihan yang serampangan.” Jadi, wewenang itu bukan diserahkan kepada “selera pribadi”, seenak pelayan atau jemaat dan tanpa pemikiran-pertimbangan yang cukup matang. Untuk itu, adanya penyerasian dengan keadaan jemaat perlu diputuskan oleh Konferensi Uskup, dengan sepengetahuan Takhta Apostolik, Roma (PUMR 390). Hal itu sudah gamblang disebut dalam PUMR 43 juga: “... sesuai dengan ketentuan hukum, Konferensi Uskup boleh menyerasikan tata gerak dan sikap tubuh dalam Tata Perayaan Ekaristi dengan ciri khas dan tradisi sehat bangsa setempat. Namun, hendaknya Konferensi Uskup menjamin bahwa penyerasian itu selaras dengan makna dan ciri khas bagian perayaan Ekaristi yang bersangkutan.”


Apakah Perlu Diubah?

Pertanyaan ini bisa dilontarkan ketika cita rasa budaya setempat (Gereja lokal) dirasa berbenturan dengan praktek liturgi yang disarankan Takhta Apostolik (Roma) dalam Pedoman Umum Misale Romawi. Maksudnya, jika jemaat merasa tidak cocok, kurang sreg, atau ada perbedaan makna, maka kiranya tata gerak dan sikap tubuh yang ada dalam buku pedoman bisa saja ditinjau kembali dan kemudian - jika dianggap perlu - diserasikan dengan cita rasa budaya jemaat setempat. Tentu saja perubahan itu tidak dilaksanakan secara gegabah atau serampangan. Maka, perlulah mengadakan semacam penelitian atau studi dialogis antara budaya setempat dengan pemahaman teologis dan liturgisnya.

Bagaimana Supaya Kompak?

Ada beberapa cara. Sebaiknya sudah ada dulu petunjuk tata gerak untuk umat. Mungkin dalam teks atau buku Misa (dalam rubrik) juga dicantumkan bagaimana tata geraknya. Jika umat sudah mengenal dan terbiasa mungkin tidak perlu dikuatirkan. PUMR 43 juga menyebutkan: “Demi keseragaman tata gerak dan sikap tubuh selama perayaan, umat hendaknya mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh diakon, pelayan awam, atau imam, selaras dengan petunjuk buku-buku liturgis.” Praktisnya:

[1] Ada petugas yang “mengajak” umat untuk melakukan tata gerak tertentu selama perayaan
berlangsung;
[2] Umat dapat diberi petunjuk sebelum perayaan mulai, khususnya untuk tata gerak yang baru atau belum biasa dilakukan umat;
[3] Jika ada buku Misa untuk umat, sebelum perayaan dimulai umat dipersilakan menyimak setiap petunjuk yang tertulis dalam buku tersebut, khususnya yang berkaitan dengan tata gerak, dan peran umat pada umumnya.

Berkumpul dan Maknanya

Berkat pembaptisan kita dijadikan satu keluarga dalam Gereja yang kudus. Orang Kristiani adalah pribadi yang komuniter, selalu terpaut dalam kebersamaan. Kita tidak sendirian. Dalam nama Bapa dan Putera, kita juga dipersatukan oleh Roh Kudus. Itu tampak ketika kita berkumpul, khususnya dalam “tempat kudus.” Kita berkumpul sebagai orang-orang pilihan, yang terpanggil, yang dicintai Allah. Liturgi mengundang kita untuk menemukan kembali panggilan kita, yakni tumbuh dalam kesatuan, menjadi umat Allah, berkarya dengan dan bagi saudara-saudari dalam perayaan yang dinamis. Maka, berkumpul adalah bagian dari tata gerak kolektif. Agar pertemuan itu tidak kacau, tidak anarkis, tetap utuh, maka diperlukanlah keyakinan dan sikap yang sama. Di sinilah letak pentingnya suatu pedoman atau aturan bersama. Kita berkumpul untuk merayakan Ekaristi, suatu perayaan bersama yang bukan tanpa aturan. Selain itu, berkumpul juga menjadi tanda kehadiran Kristus sendiri,“Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20).
Makna Berdiri
Sikap tubuh ini mengungkapkan kegembiraan jemaat. Gembira atas kebersamaan dan persaudaraan di dalam Kristus. Berdiri menyatakan keyakinan dan perasaan yang utuh, jiwa yang siaga di hadapan Allah, siap bertemu dan berdialog dengan yang Ilahi. Kita berdiri karena kita berada di hadapan yang menentukan dan menguasai hidup kita, yang memberi kekuatan dan menjaga kita. Berdiri untuk menyatakan bahwa Dia adalah satu-satunya Allah Tuhan kita. Kita berdiri untuk menghorrnati Allah Yang Mahatinggi (bdk. Kej 18:8). Jemaat yang berdiri menunjukkan rasa syukurnya dan keakrabannya dengan Allah. Jemaat yang berdiri juga mengungkapkan persaudaraan yang hidup, yang dipersatukan bagi dan oleh Allah. Maka, sangatlah tepat bila kita berdiri khususnya pada saat menyatakan iman (Syahadat) dan Doa Syukur Agung. Kita mengakui secara terbuka bahwa wafat dan kebangkitan Kristus (Misteri Paskah) adalah dasar kehidupan kita. Inilah dasar kegembiraan kita. Kegembiraan Paskah mengantar perjalanan kita menuju Allah. Kita seolah berdiri bersama Yesus Kristus berada di Yerusalem surgawi. Kita berpartisipasi, terlibat penuh dalam kemenangan Paskah yang dibawakan oleh Kristus. Maka dari itu, di beberapa gereja ada juga yang memberlakukan “berdiri” selama Masa Paskah, tidak ada berlutut, bahkan juga duduk.

Kapan Berdiri?

PUMR 43 menunjukkan saat-saat jemaat berdiri, yakni:

[a] Dari awal nyanyian pembuka, atau selama perarakan masuk menuju altar sampai dengan Doa
Pembuka selesai;
[b] Pada waktu melagukan Bait Pengantar Injil (dengan atau tanpa “alleluya”);
[c] Pada waktu Injil dimaklumkan;
[d] Selama Syahadat (Credo);
[e] Selama Doa Umat;
[f] Dari ajakan “Berdoalah, Saudara...” sebelum Doa Persiapan Persembahan hingga akhir
Perayaan Ekaristi, kecuali pada saat-saat tertentu yang ditentukan tersendiri.

Untuk Imam Selebran saat-saat berdirinya hampir sama dengan jemaat. Ada beberapa perbedaan, misalnya, pada saat menyampaikan Homili, ia dapat berdiri atau duduk di kursi imam; pada saat Doa Syukur Agung ia harus tetap berdiri memimpin, sementara jemaat d jakan (“Marilah berdoa”) kepada jemaat. Tata gerak ini juga dilakukan oleh Diakon sebelum membawakan Injil (“Tuhan sertamu....”).

Jangan kaget kalau ternyata ada beberapa Imam yang tidak mempraktekkan ragam tata gerak di atas. Alasannya mungkin beraneka: karena tidak tahu, lupa, tidak mampu karena sakit, cuma malas, berpendirian lain, atau.... Sebaiknya tanyakan saja langsung kepada yang bersangkutan.

Perarakan Juga Bagian dari Tata Gerak
Sering kali terlupakan bahwa perarakan juga merupakan tata gerak. Dari istilah ini kita tentu langsung bisa membayangkan bahwa pelakunya lebih dari satu orang. Juga, ada beberapa perlengkapan pendukung perarakan. Maka, istilah tata gerak mencakup juga segala jenis perarakan, seperti:

[1] tindakan dan perarakan imam bersama diakon dan para pelayan menuju altar;
[2] perarakan diakon yang membawa Kitab Injil menuju mimbar sebelum pemakluman Injil;
[3] perarakan umat beriman yang mengantar bahan persembahan dan maju untuk menyambut komuni.

Perarakan menandakan suasana kemeriahan. Maka, hendaknya tata gerak ini dilaksanakan dengan anggun, sesuai dengan kaidah masing-masing, dan diiringi dengan nyanyian yang serasi (PUMR 44). Bahkan kalau dirasa perlu bisa juga dengan tarian atau ekspresi budaya lainnya.

Sumber: “Simbol-Simbol Sekitar Perayaan Ekaristi: Tata Gerak, Sikap Tubuh”; Pamflet Liturgi M3 Mengalami, Merawat, Menarikan Liturgi; diterbitkan oleh ILSKI (Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia); Jalan Nias 2, Bandung 40117; phone: 022 4207943 / 4217962 (ext 113)

Jumat, 22 Januari 2010

KURSUS ORGAN MUSIK GEREJA PAROKI SANTA BERNADET CILEDUG

KURSUS ORGAN MUSIK GEREJA PAROKI SANTA BERNADET CILEDUG

Tujuan:

1. Mencetak kader-kader organis gereja yang diharapkan akan menjadi Organis Gereja di paroki St. Bernadet Ciledug.
2. Mengumpulkan putera-puteri yang berbakat dan terpanggil menjadi pemusik dan penyanyi gereja di paroki St. Bernadet Ciledug.
3. Membangun kelompok paduan suara anak paroki yang sekaligus belajar musik, mendalami iman dan kitab suci dan bermain bersama sebagai anak-anak seiman sekaligus menjadi calon-calon organis.

Kurikulum Pembelajaran:

- Belajar memainkan organ klasik untuk keperluan pelayanan di gereja atau dalam misa Wilayah. Sumbernya: Buku Menjadi Organis Jilid I – IIIB, dari Pusat Musik Liturgi Yogyakarta – PML A-25, A-26, A, 27, A-28.
- Belajar solfegio untuk vokal dan bermain instrumen musik, mengacu pada Buku pengolahan vokal Nikolaii Vaccaj, 1999.
- Belajar Teori Dasar Musik menggunakan buku Teori Dasar Musik dari Al. Sukohardi, PML Yogyakarta, 1997.
- Berdoa dan mengenal Kitab Suci diasuh oleh Tim Pendampingan Liturgi Anak.

Waktu Pembelajaran :
Setiap hari Minggu, pukul 10.00 – 12.00 wib.

Tempat Pembelajaran: Sanggar Liturgi Bernadet, alamat: Rumah Bapak Budiyono, Komplek
Pinang Griya Permai, Jl. Rajawali Raya A1 No. 200, Pinang, Tangerang.

Kontak Person : Sdri. Fannie (021 731 0130 atau 0898 98 455 33)
Bpk. Budiyono (021 731 0130 atau 0812 88 91 933)
Bpk. Leonardus (0852 1123 3125).

Kelengkapan Belajar :

-Sedapat mungkin membawa keyboard 1 buah per wilayah. Di Sanggar Liturgi Bernadet disediakan 4 buah keyboard.

-Membawa kitab suci untuk pendalaman iman.

Kriteria untuk dapat mengikuti Kursus ini:
1. Setiap anak atau remaja mulai usia 6 – 15 tahun, berdomisili di paroki Santa Bernadet Ciledug.
2. Sudah dibaptis dan atau diterima dalam Gereja Katolik.
3. Bersedia menjadi pelayan liturgi tanpa pamrih untuk keperluan gerejawi.
4. Transportasi disediakan oleh wilayah atau orang tua masing-masing.


Staf pengajar:
1. Bpk. Leonardus Joseph (Organ, Vokal, Kitab Suci)
2. Bpk. Ignatius Budiyono (Vokal, Kitab Suci)
3. Ibu Sita Sihombing (Organ, Vokal)
4. Sdri. Stefannie (Vokal, Administrasi)
5. Tim Pengajar Ascencio (Organ, Vokal).
6. Suster Sang Timur.

Konsep pengajaran:

Pukul 10.00 – 11.00 : Berlatih Organ Gereja.
11.00 – 11.45 : Berlatih Vokal/ Paduan Suara Anak.
11.45 – 12.00 : Mengenal Kitab Suci/ Dinamika Kelompok/ Ibadat.

Jumlah anak/ remaja tergantung pada jumlah keyboard atau organ yang tersedia. Komposisi minimal adalah: 1 keyboard dipakai untuk 2 – 5 orang anak
Immanuel.... Tuhan beserta kita !!!
Saat ini telah terbit untuk Anda sekalian yang berjiwa Katolik dan mencintai liturgi suci, sebuah blog tempat kita belajar, berbagi informasi, mengirimkan uneg-uneg yang membangun dan wadah untuk berdiskusi. Anda sekalian, tua, muda, cantik, ganteng, pastor, suster, bruder, frater, awam .... pokoke, monggo ditunggu keterlibatannya untuk memperkaya liturgi Kristen dan memberi kedamaian bagi kita yang merayakannya.
Semoga Allah beserta kita. Mari, kita ciptakan liturgi yang Kristiani, Benar, Baik, Baru, Segar dan Menghidupkan di paroki kita dan bagi Gereja Semesta. Syaloom!