Rabu, 10 Februari 2010

Paul Widyawan dedengkot paduan suara (Sharing dari Sdr. Lambertus Hurek)

Paul Widyawan dedengkot paduan suara

"Cahaya Suci", komposisi SATB karya Paul Widyawan, ini merupakan lagu liturgi inkulturasi bergaya Sunda. Cukup populer di Jawa Timur.


Nama PAUL WIDYAWAN tentu tak asing lagi di kalangan aktivis paduan suara di Indonesia. Lebih-lebih mereka yang pernah bergiat di lingkungan paduan suara Gereja Katolik. Paul Widyawan juga populer di kalangan paduan suara mahasiswa yang gemar membawakan lagu-lagu nusantara. Juga panitia lomba paduan suara yang menginginkan juri berpengalaman, tahu benar seluk-beluk paduan suara.

Setelah aktif di paduan suara di Jawa Timur pada 1990-an, saya semakin sadar bahwa Paul Widyawan ternyata dedengkot paduan suara yang punya begitu banyak 'pengikut' di kalangan aktivis kor gereja. Para pelatih di lingkungan, wilayah, paroki [kor inti], mudika, hingga komisi musik liturgi keuskupan [Malang dan Surabaya] selalu menyebut nama Paul Widyawan dan Pastor Karl Edmund Prier SJ sebagai rujukan.

"Nyanyinya jangan gitu lho. Menurut Paul Widyawan, bernyanyi yang benar harus begini," kata Bu Bambang, pianis klasik dan pelatih paduan suara Lingkungan Santo Thomas, Paroki Celaket, Kota Malang, kepada saya. Waktu itu saya diminta menjadi solo tenor sekaligus pemazmur di gereja.

Saya membawakan lagu 'Oh, Ke Manakah Arah Perahu' ciptaan dan aransemen Paul Widyawan, tapi dianggap tidak pas. "Mulutmu sudah buka, tapi belum lebar sehingga 'oooo' belum bulat. Jangan malu-malu buka mulut ya?" tegas Bu Bambang yang memang sangat tegas. Hehehe.... Memang, kalau nyanyi di paduan suara itu mulut wajib dibuka lebar-lebar, artikulasi jelas, vokalisi, dan macam-macam lagi. Komplet deh!

Saat kuliah di Universitas Jember, kemudian aktif di paduan suara gereja dan mahasiswa, nama Paul Widyawan lagi-lagi disebut. Mas Joko, sang pelatih dan dirigen Paroki Jember, ternyata muridnya dedengkot musik dari Pusat Musik Liturgi [PML] Jogjakarta itu. Hampir semua buku musik terbitan PML dia punya. Paling banyak, ya, garapan Paul Widyawan.

"Katanya Paul Widyawan itu begini lho," kata Suster Elsa, organis di Jember pada 1990-an. "Wah, kalau sampeyan nyanyinya kayak begitu, ya, dimarahi Paul Widyawan," tambah teman lain. Saya geleng-geleng kepala menyaksikan kenyataan ini. Paul Widyawan ternyata punya pengaruh luar biasa di paduan suara. Jadi rujukan teman-teman paduan suara di gereja [Katolik].

Saya pindah ke Surabaya, tapi tidak aktif lagi di paduan suara. Tapi saya masih sering berdiskusi dengan teman-teman eks aktivis paduan suara mahasiswa ITS, Universitas Airlangga, Universitas Surabaya, Universitas Petra, Universitas Jember, IKIP Malang, IKIP Surabaya. Eh, nama Paul Widyawan kembali dirujuk. Orang Flores yang belajar kor di Jawa, ya, rujukannya ke PML: berguru langsung ke Paul Widyawan dan Romo Prier.

Saaat ikut lomba paduan suara antaruniversitas di Jawa Timur, Paul Widyawan tampil sebagai juri. Paul tak sekadar juri, tapi juga selalu memberi masukan tentang teknik vokal, bagaimana harus tampil di panggung, dan sebagainya. Paul mengkritik keras teman-teman dirigen PSM [paduan suara mahasiswa] yang suka mengatur-atur posisi penyanyi di panggung. Padahal, tugas dirigen hanya mendireksi atau memimpin nyanyian atau musik.

"Saat geladi bersih posisi penyanyi sudah harus jelas. Jadi, waktu naik panggung nggak perlu diatur-atur lagi. Penyanyi masuk satu per satu, cari posisi, terakhir dirigen naik. Lalu mulai menyanyi," kata Paul Widyawan saat menjadi juri lomba paduan suara se-Jawa Timur di kampus Universitas Brawijaya, Malang.

Saya tidak tahu apakah resep dari Paul Widyawan ini masih diikuti atau tidak. Tapi saya sangat sepakat dengan masukan Paul. Selama ini terlalu banyak paduan suara menghabiskan waktu hanya untuk menata penyanyi di atas panggung. Belum lagi gaya dirigen yang lucu dan aneh-aneh.

Mengapa nama Paul Widyawan sangat mencorong, bahkan dia punya 'pengikut' di mana-mana? Apalagi, di kalangan Gereja Katolik?

Pertama-tama, kiprah Paul Widyawan tidak lepas dari Pusat Musik Liturgi [PML] di Jogjakarta. PML didirikan Pastor Karl Edmund Prier SJ pada 11 Juli 1971 sebagai dapur pengolah musik liturgi [musik untuk perayaan ekaristi atau ibadah di Gereja Katolik]. Sejak awal PML bertekad untuk mengolah musik khas nusantara sebagai bahan dasar musik liturgi. Nah, Romo Prier 'berduet' dengan Paul Widyawan untuk mengembangkan PML.

Hasilnya luar biasa. Paul Widyawan dan Prier mengolah musik etnik Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Minang, Flores [ada macam-macam versi], Timor, Maluku [beberapa versi], Papua [beberapa versi], dan seterusnya. Ini karena PML secara teratur bikin lokakarya komposisi di berbagai daerah di Indonesia sejak 1970-an. PML mengundang pemusik/komponis lokal kemudian diajak diskusi bersama Paul Widyawan dan Prier, bikin komposisi, susun lirik, bikin aransemen.

Komposisi itu kemudian dipentaskan, diapresiasi bersama. Pada awal 1980-an PML merilis MADAH BAKTI dan KIDUNG ADI [berbahasa Jawa], buku nyanyian dan doa untuk Gereja Katolik di Indonesia. Berbeda dengan buku-buku nyanyian gerejawi lainnya, 60-70 persen MADAH BAKTI ditulis oleh orang Indonesia dengan gaya etnik di tanah air. Maka, ada misa gaya Flores, Manado, Jawa, Batak, Dayak, keroncong, gending, Papua, Maluku.

Hampir semua daerah terwakili di MADAH BAKTI. Lagu-lagu gaya Flores paling banyak dan paling populer sampai hari ini. Saya, orang kampung asal Flores Timur, ikut bangga karena musik rakyat di daerah kami ternyata paling mewarnai liturgi di Indonesia. Karya-karya Paul Widyawan pun sangat dominan. Boleh dikata, sebagian besar komposisi baru hasil lokakarya di daerah-daerah diaransemen oleh Paul Widyawan. Maka, saya sering bilang kepada teman-teman aktivis paduan suara [bercanda]: Paul Widyawan itu raja aransemen paduan suara paling produktif di Indonesia.

Sebagai komponis yang kaya pengalaman, belajar khusus di Eropa, Paul Widyawan menulis aransemen kor dengan berbagai tingkat kesulitan. Kami, di lingkungan Gereja Katolik, membagi komposisi paduan suara dalam enam taraf kesulitan: A sangat mudah, B mudah, C sedang, D lumayan, E sedikit sulit, F sulit. Karena MADAH BAKTI itu komposisi musik liturgi untuk umat, maka taraf kesulitannya paling banter C. Ada beberapa yang D, tapi masih bisa diatasi oleh paduan suara kebanyakan.

Setelah menggeluti paduan suara, bahkan sempat menjadi pelatih, akhirnya saya bisa menangkap karakter atau ciri khas Paul Widyawan. Apa saja ciri khas Paul Widyawan? Saya kasih bocoran sedikit.

1. Melodi pokok [di gereja biasa disebut cantus firmus atau CF] tidak selalu di sopran. CF bisa berpindah-pindah dari sopran, alto, tenor, bas. Pola ini beda dengan kebiasaan paduan suara di lingkungan gereja umumnya.

Karena CF ganti-ganti, empat suara harus sangat fokus, konsentrasi, tak boleh salah. Kalau melamun, maka bangunan nyanyian akan rusak. Saya amati, banyak kor di gereja yang kacau karena tidak serius berlatih, tapi memaksakan memakai aransemen Paul Widyawan.

2. Nada-nada sopran [kadang-kadang tenor] sangat tinggi. Loncatan nada kerap kali sangat ekstrem. Sopran harus berlatih sangat keras, tahu teknik vokal, agar bisa nyanyi dengan enak. Register perut, dada, kepala harus mulus, tidak terdengar ngoyo atau maksa.

3. Terkait nomor dua, sopran sering dipecah dua atau tiga [S1, S2, S3]. Suara-suara atas alias coloratura ini untuk hiasan atau ornamen.

Pola macam ini kerap dipakai VOCALISTA SONORA, paduan suara yang dipimpin Paul Widyawan, dalam festival-festivalnya. Oh, ya, VOCALISTA SONORA alias VOCASON kerap konser di berbagai daerah di Indonesia untuk 'kasih contoh' bagaimana menyanyi secara baik dan benar. VOCASON juga pernah tur beberapa kali ke Eropa antara lain tahun 1976 dan 1988. VOCASON merupakan paduan suara yang mendapat fasilitas khusus dari PML. Alumninya tersebar di seluruh Indonesia, dan menjadi pelatih paduan suara gerejawi, sekolah, kampus, umum.

4. Paul Widyawan senang menjadikan suara manusia sebagai pengganti alat musik, desah angin, suara daun, dan sebagainya.

5. Paul Widyawan menolak tegas pola aransemen musik etnik, misal pentatonik Jawa atau Dayak, dengan pendekatan musik Barat. Karena itu, lagu-lagu bernuansa Jawa niscaya menggunakan 'sistem balungan'. Polanya seperti kanon, nyanyi bersahut-sahutan. Menurut Paul, aransemen ala piano klasik justru membuat musik nusantara kehilangan roh.

6. Paul Widyawan sangat menginginkan kekhasan lagu daerah. Menyanyi ala Sunda, ya, banyak menggunakan suara hidung [nasal]. Papua, ya, meriah kayak orang menari dan menyanyi di pedalaman kampung Suku Dani. Jangan sekali-kali memaksakan cara menyanyi ala Barat alias bel canto di nyanyian daerah.

7. Instrumen asli daerah sangat diutamakan. Paul Widyawan kerap mengkritik lomba-lomba paduan suara mahasiswa yang terkesan 'membakukan' piano sebagai instrumen pengiring. Iringan piano, dengan harmoni Barat, justru merusak lagu, kata Paul.

8. Aransemen paduan suara karya Paul Widyawan tidak berpanjang-panjang. DOMIDOW, lagu rakyat Papua, misalnya, hanya satu halaman. Bandingkan dengan aransemen paduan suara mahasiswa yang rata-rata di atas lima halaman.

Sebab, bagi Paul, aransemen yang pendek itu akan hidup jika dibawakan oleh dirigen yang mampu menghidupi musik. IKIP Malang menjadi juara pertama ketika membawakan DOMIDOW yang pendek. Adapun kampus-kampus lain, saya lihat, mengolah aransemen secara panjang lebar.

9. Paul Widyawan senang menggunakan solo sopran/tenor dalam aransemen-aransemennya. Ini tidak gampang untuk paduan suara pemula. Menemukan solis yang benar-benar layak ditampilkan, wah, susahnya minta ampun. Saya pernah beberapa kali mengganti partitur hanya karena solis yang saya tunjuk sakit atau berhalangan.

Paul Widyawan itu, selain pencipta lagu, penyusun aransemen, penata musik, dirigen, manajer paduan suara, juga penyanyi hebat. Suaranya tenor, menggelegar. Karena itu, saya duga, dia ingin sekali menampilkan solis di lagu-lagu paduan suara. Dengan solis, maka SATB [sopran, alto, tenor, bas] hanya bertugas sebagai pengiring atau backing vocal.

10. Kerap menggunakan melodi yang tidak lazim. Dan sulit untuk paduan suara pemula. Biasanya, lagu-lagu kita paling banter pakai triol [tiga nada dinyanyikan dalam satu ketuk], kadang-kadang kuartol [empat nada, satu ketuk]. Paul Widyawan, demi kepentingan artistik, memasukkan lima, enam, tujuh... nada dalam satu ketuk.

Bagaimana cara menyanyinya? Harus Konsentrasi penuh dan punya kemampuan di atas rata-rata.

Kira-kira ini dulu catatan saya tentang Paul Widyawan. Orang Jogjakarta ini punya dedikasi luar biasa pada musik, khususnya paduan suara. Saya tahu, banyak orang berkecimpung sebagai pembina paduan suara, lebih terkenal, lebih berprestasi ketimbang Paul. Tapi, ketahuilah, komponis yang benar-benar masuk keluar kampung untuk 'menggali' musik tradisi nusantara, ya, siapa lagi kalau bukan Paul Widyawan.


BEBERAPA BUKU PARTITUR KARYA PAUL WIDYAWAN

1. Ondel-Ondel
2. Domidow
3. Bolelebo
4. Kambanglah Bungo
5. Dami Piranta
6. Folksong
7. Delima Natal
8. Vocasonatal
9. Buluh Puncak Awangan
10. Yerusalem Kota Surgawi

Buku-buku, kaset/CD, bisa dipesan ke:

PUSAT MUSIK LITURGI

Jalan Ahmad Jazuli 2 Jogjakarta 55224
Telepon [0274] 566695
Faksimili [0274] 541641
E-mail pml@idola.net.id

Kredit foto: Steve Adinegoro dan majalah HIDUP.

Senin, 08 Februari 2010

TATA KATA LITURGIS

TATA KATA LITURGIS

Antara sabda dan kata-kata
Liturgi adalah suatu kegiatan doa bersama dari Gereja. Doa liturgis sebagai doa resmi Gereja adalah salah satu ungkapan yang paling khas, di mana iman Gereja dapat dinyatakan secara sungguh otentik (Edward Schillebeeckx). Dalam liturgi sebagai doa, Gereja menjalin komunikasi dengan Allah, dengan pengantaraan Kristus, Putera-Nya. Kristus adalah Sang Sabda yang menghubungkan umat dengan Allah, Sabda Allah sendiri yang menyapa manusia. Gereja mengimani Kristus, Sabda Allah yang menjadi manusia, dan mengungkapkan imannya itu dalam perayaan kudus yang dipimpin oleh Kristus sendiri. Kehadiran Kristus dalam perayaan liturgis dilambangkan dalam suatu pewartaan Sabda, pembacaan Kitab Suci. Dalam Misa, peristiwa Sabda yang menyapa umat itu diberi tempat secara khusus dalam Liturgi Sabda. Selain itu, tanda kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi juga dinyatakan dalam pribadi imam selebran, roti dan anggur, dan umat yang berkumpul. Dalam tulisan-tulisannya mengenai liturgi sakramen Agustinus memaknai “sabda” dalam tiga arti: Yesus sendiri, Kitab Suci yang diwartakan, dan formula (rumusan doa) sakramental. Arti pertama dan kedua sudah disinggung. Arti ketiga juga penting, bahwa formula sakramental merupakan “sabda” yang menguduskan dan menyelamatkan. Maka, perayaan liturgis sendiri secara simbolis merupakan suatu “peristiwa sabda”, saat Allah berbicara. Namun, lebih daripada itu, Allah dan umat beriman pun saling berkomunikasi dan berdialog. Liturgi tak terjadi searah, melainkan selalu timbal balik. Sebagai peristiwa yang berdimensi ilahi-manusiawi perlulah liturgi itu diungkapkan secara nyata. Cara komunikasi manusiawi dimanfaatkan untuk memenuhi maksud simbolisnya. Allah sendiri telah menggunakan bahasa manusia agar diri-Nya dikenal dan dipahami manusia. Bahasa adalah medium komunikasi diri yang meliputi aneka pengertian: yang simbolis atau yang lugas, yang gestural (gerak, sikap tubuh) atau yang verbal (teks, doa, bacaan, dsb). Allah sendiri juga berbahasa simbolis melalui unsur-unsur yang diambil dari kehidupan manusia (orang, benda, kata, tindakan). Sementara umat tidak bisa tidak harus juga menggunakan kemampuan yang dimilikinya atau memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya. Salah satunya adalah “kata-kata” atau ungkapan verbal yang dijadikan sarana komunikasi antara umat beriman dengan Allahnya. Ada dua cara pengungkapan “kata-kata”, yakni secara lisan dan tulisan. Jadi, di dalam Misa pun akan selalu kita temui peran “kata-kata” yang amat penting itu. Ada “kata-kata” yang dinyatakan secara lisan tanpa teks acuan yang tertulis, dan ada pula “kata-kata” yang dirumuskan dalam bentuk tulisan. Bagaimana “kata-kata” itu ditata dan berperan dalam Misa? Hal inilah yang akan kita simak satu per satu melalui uraian berikut ini.

Sabda dan kata-kata sebagai teks liturgis
Sabda (Word) adalah sesuatu yang abstrak. Ia baru ditangkap ketika tertuang dalam tulisan atau diungkapkan dalam kata-kata (words). Sabda Allah tertulis dalam Kitab Suci, maka Kitab Suci disbeut juga Sabda atau Firman Allah. Jika hanya dituliskan dan dibiarkan sebagai tulisan, tanpa dibaca atau diwartakan maka Sabda itu tidak berbicara, tidak bergema, tidak berdaya guna. Dalam perayaan liturgis, Sabda Allah itu dibuat berbicara, supaya berdaya guna bagi yang mendengarkannya, supaya juga ditanggapi oleh yang mendengarkannya. Ketika Kitab Suci dibacakan dalam liturgi maka Allah sendirilah yang sedang bersabda kepada umat-Nya (PUMR 29). Maka, “kata-kata” pun menjadi Sabda yang bisa didengar, dicerna, berguna bagi kehidupan dan keselamatan. Sabda seolah mengerdil dalam kata-kata atau tulisan, namun bisa kembali meraksasa jangkauannya bila tulisan dari Sabda itu diperlakukan semestinya: dihidupkan (lewat dibaca atau dibawakan) dalam liturgi! Dampak dari “tulisan” tentang Sabda bisa ke mana-mana, tak terduga. Tapi, bisa juga tak berdampak apa-apa bagi yang tuli telinga dan hatinya…. Seluk beluk tentang kata ini kemudian harus diamati dalam suatu bidang yang disebut “teks liturgis”. Teks liturgis adalah kata-kata yang digunakan dalam perayaan liturgi. Sabda dan kata-kata yang digunakan dalam liturgi dikelola di bidang itu, agar sungguh mampu berdaya guna bagi setiap peraya liturgi.

Teks dalam buku liturgis resmi
Sebagai kegiatan doa yang dilakukan secara bersama, liturgi memerlukan teks yang pasti dan berlaku untuk setiap peraya selama perayaan. Teks liturgis turut menjamin keberadaan dan keberlangsungan perayaan liturgi itu sendiri. Tidak ada liturgi tanpa teks liturgis. Sebagai doa resmi Gereja, maka teks liturgis pun juga harus resmi. Artinya, teks itu diterbitkan atau disahkan oleh Gereja, dalam hal ini oleh Takhta Suci Vatikan. Teks-teks yang sudah disahkan itu diwujudkan dalam suatu buku liturgis resmi (Latin: libri liturgici, Inggris: liturgical books). Ada perbedaan antara “buku liturgis” dengan “buku liturgi”. Yang satu dengan “s”, yang lainnya tanpa. Beda tipis dalam penulisan, namun makna dan fungsinya berlainan, meskipun keduanya komplementer, bisa saling melengkapi. Dapat dikatakan bahwa “buku liturgi” adalah buku, tulisan, atau bahasan tentang liturgi, termasuk wilayah keilmuan, “teologi kedua” (theologia secunda). Sedangkan “buku liturgis” adalah buku atau teks yang digunakan dalam praktik perayaan liturgi, bagian dari “teologi pertama” (theologia prima). Ada buku liturgis yang memiliki nilai simbolis khusus, yakni Evangeliarium sebagai simbol Kristus sendiri.

Buku liturgis untuk Misa: teks bacaan, teks doa
Sumber-sumber tekstual telah digunakan berabad-abad dalam perayaan liturgi. Kita coba bedakan dalam dua jenis utama: teks bacaan dan teks doa.
[1] Teks bacaan atau teks skriptural bersumber dari Kitab Suci resmi Gereja Katolik. Teks-teks itu dikelompokkan menjadi buku-buku liturgis yang dinamai Buku Bacaan Misa (Leksionarium), Kitab Injil (Evangeliarium), dan Mazmur Tanggapan (Responsorium, Graduale).
[2] Teks doa atau teks eukologis (Yunani: euche = doa, dan logos = ilmu) bersumber dari karya-karya para Bapa Gereja (Patristik) atau Magisterium Gereja. Teks-teks eukologis itu dikelompokkan dalam buku liturgis; di antaranya adalah Buku Doa-doa Misa (Sakramentarium), Tata Perayaan Ekaristi (Misale), dan buku untuk perayaan-perayaan khusus (Rituale dan Pontifikale). Ada juga beberapa penulis yang memasukkan bacaan Kitab Suci dan nyanyian biblis ke dalam eukologi. Eukologi termasuk dalam studi tentang teks-teks doa liturgis pada umumnya. Suatu studi tentang hukum-hukum yang mengatur formulasi dan isi doa-doa liturgis dalam buku-buku ritual. Misalnya: [a] prefasi, doa syukur agung, berkat meriah (mis. atas air untuk baptis), dan doa konsekrasi (mis. atas krisma, tahbisan); [b] doa-doa presidensial (mis. doa pembuka misa, doa persiapan persembahan, doa sesudah komuni, doa untuk jemaat, doa mazmur). Teks eukologis pada dasarnya adalah puitik, metaforik, atau penuh-imaji. Makna doa-doa itu tidak eksak, tapi lebih menawarkan percikan atau malah kiasan.

Jenis teks liturgis lainnya
Dua jenis utama yang telah disebut di atas (teks bacaan dan teks doa) dapat ditambahi lagi dengan beberapa jenis lain. Kita sebut saja satu per satu.
[1] Rubrik: teks pada buku liturgis yang menjelaskan tata laksana perayaan: siapa yang bertugas, apa yang harus disiapkan/digunakan, bagaimana melaksanakannya, dsb. Kata “rubrik” diturunkan dari kata Latin ruber, artinya merah. Dalam buku liturgis resmi biasanya teks itu dicetak dengan huruf merah (ruber), maka teks semacam itu disebut rubrik. Rubrik tidak perlu dibacakan selama perayaan, cukup diketahui oleh petugas atau umat yang harus berpartisipasi aktif.
[2] Ajakan: teks yang dibawakan oleh imam atau petugas lain ini biasanya mendahului doa atau tindakan yang meminta keterlibatan jemaat. Misalnya: “Marilah kita berdoa…; Berdoalah saudara-saudari…; Marilah kita saling menyampaikan…”; dsb. Sifatnya memang mengajak, maka perlu disampaikan dengan ramah dan bersimpati. Demi komunikasi yang hidup, sebaiknya teks semacam ini dibawakan secara spontan, sudah hafal, pandangan petugas tak perlu terpaku pada teks lagi. Jika dilakukan oleh Imam Selebran, ia membawakannya dengan gerak tangan membuka.
[3] Salam: teks ini biasanya dibawakan oleh Imam Selebran untuk menyapa jemaat dalam kapasitasnya sebagai pribadi Kristus dan pemimpin jemaat (in persona Christi dan in persona Ecclesiae). Dari TPE kita temukan contohnya: “Tuhan bersamamu; Tuhan sertamu.” Teks ini dibawakan dengan gerak tangan membuka, seperti ketika menyampaikan ajakan. Jemaat pun menanggapinya dengan rumusan khusus berupa jawaban atau seruam.
[4] Tanggapan: teks yang dibawakan oleh jemaat ini dapat dibedakan menjadi tanggapan yang berupa “jawaban” dan “seruan”. Teks jawaban untuk menanggapi salam dan ajakan Imam Selebran. Misalnya: “Dan bersama rohmu; Dan sertamu juga.” Sedangkan teks seruan (aklamasi) adalah untuk menegaskan/mengiyakan doa-doa dan berkat yang dibawakan oleh Imam Selebran. Contohnya: “Amin; Aklamasi Kudus; Aklamasi Anamnesis.”
[5] Renungan: jenis teks ini biasanya tidak langsung termuat dalam buku liturgis, namun ada kesempatan bagi imam atau petugas untuk membacakannya. Teks yang bersifat renungan ini bisa berupa amanat singkat, homili, atau bacaan rohani yang sesuai dengan misteri perayaannya.
[6] Nyanyian: teks nyanyian perlu juga disajikan secara khusus, entah dalam suatu kumpulan nyanyian-nyanyian (buklet) terlepas yang hanya digunakan untuk perayaan tertentu; atau yang dimasukkan dan menjadi bagian utuh dalam buku perayaan untuk kesempatan tertentu; atau yang disatukan dalam sebuah buku untuk berbagai keperluan (misalnya: Puji Syukur, Yubilate, Madah Bakti, dsb).
[7] Penjelasan: jika rubrik dirasa kurang memadai, kadang kala perlu juga disiapkan teks khusus yang isinya penjelasan bagi jemaat. Teks penjelasan itu dapat dibacakan untuk diketahui jemaat. Penjelasan itu bisa mengenai apa yang harus dilakukan jemaat pada bagian tertentu dalam perayaan, tentang suatu ritus/simbol yang mungkin belum dipahami jemaat. Atau apa pun, asal dimaksudkan untuk membantu jemaat agar bisa lebih menghayati perayaan yang mereka hadiri dan membantu memperlancar jalannya perayaan.

Teks liturgis: dibaca, dibacakan, dibawakan?
Bagaimana memperlakukan teks? Biasanya sudah ditunjukkan dalam rubrik. Ada teks yang oleh pemimpin/petugas dibaca sendiri dalam hati, dibacakan dengan suara lembut, atau dibacakan dengan suara lantang (PUMR 32-33). Jika diberi unsur musikal maka ada teks yang dibawakan dengan cara didaras atau dilagukan (PUMR 38). Ketika dibawakan oleh pelakunya, maka teks itu “mewujudkan diri” bagi pendengarnya. Teks itu menjadi hidup dan menciptakan komunikasi antara pembawa (pembaca!) teks dengan pendengarnya. Jika teks itu adalah suatu doa, maka jemaat yang mendengarkannya pun melibatkan diri dalam doa yang dibawakan si petugas, dan doa itu menjadi doa jemaat juga. Singkatnya, cara memperlakukan teks dapat dibagi menjadi dua:
[1] dibaca: dilakukan sendiri oleh pelakunya, entah sebelum atau dalam perayaan, dan
[2] dibawakan: dilakukan oleh pelakunya dalam perayaan dengan mengeluarkan suara. Ada dua cara bersuara: dengan lembut atau dengan lantang. Yang dengan lembut adalah doa-doa yang diucapkan oleh Imam Selebran, namun tak perlu diperdengarkan kepada jemaat. Jika bersuara dengan lantang, masih ada tiga macam cara lagi: dibacakan, didaraskan, atau dilagukan. Suara lantang dan ucapan yang jelas amat disarankan agar apa yang dibawakan itu mudah ditangkap oleh jemaat.

Awas, “virus verbalisme”!
Istilah verbalisme (Latin: verbum = kata) sesungguhnya berbau negatif. Kita gunakan di sini untuk menggambarkan suatu gejala yang cenderung menampilkan kata-kata secara kurang tepat atau berlebihan sehingga dapat mempengaruhi keindahan perayaan liturgi. Liturgi sendiri sudah mengandung banyak unsur kata. Maka, sebaiknya jangan dibanjiri lagi dengan kata-kata yang tidak penting dan justeru akan menjadi hambatan atau gangguan bagi “arus mengalirnya” perayaan liturgi. Perayaan bisa terasa tersendat-sendat, bertele-tele, atau bahkan terbelokkan maknanya, karena muncul banyak kata-kata yang kurang berdayaguna. Tanpa terasa, kebiasaan yang keliru bisa menjadi seperti virus yang menggerogoti “kesehatan” liturgi. Verbalisme hanya merupakan salah satu contoh virus yang ada dalam praktik berliturgi kita. Masih ada beberapa jenis virus lagi, misalnya klerikalisme, instrumentalisme, ritualisme, rubrikisme, seremonialisme, dsb.

Apa saja contoh virus verbalisme itu?
Virus verbalisme selalu berkaitan dengan sikap yang keliru dalam memperlakukan kata-kata dalam perayaan liturgi. Semoga contoh-contoh yang sering muncul dalam Misa berikut ini membantu menjelaskan.
[1] Petugas membacakan judul-judul ritus yang sebenarnya adalah bagian dari rubrik, maka tidak perlu disuarakan (Imam: “Doa Umat”; Lektor: “Bacaan Pertama”, “Mazmur Tanggapan [dengan refrein…]”, “Pengumuman”, dsb). Liturgi bukan sejenis upacara sipil kenegaraan yang biasanya menyebut rubrik atau nama-nama bagian yang akan dilakukan petugas/peserta: “Inspektur upacara memasuki/meninggalkan tempat upacara”, “Lagu kebangsaan”, “Pembacaan Pancasila”, “Istirahat di tempaaat, graaak!”, dsb.
[2] Doa-doa spontan (bukan teks resmi dalam buku liturgis) yang terlalu panjang dan tanpa struktur sehingga terkesan mengulang-ulang gagasan atau seperti mengudar perasaan belaka. Baik imam maupun umat seringkali tidak menyadari bahwa doa semacam itu kurang cocok untuk perayaan bersama yang harus merelatifkan keinginan, selera, dan kemampuan pribadi setiap peserta. Dengan kata lain, pendoa spontan perlu tahu diri di tengah kepentingan bersama.
[3] Homili yang disampaikan oleh Imam/Diakon juga bisa terserang virus verbalisme. Homili yang berkepanjangan, berputar-putar, membingungkan, atau tidak mudah dipahami bisa digolongkan dalam gejala verbalisme ini.
[4] Memasang tulisan pesan (bersifat tematis, moral, biblis) pada dinding, jendela, atau objek tertentu dalam tempat perayaan (ambo, altar), entah dalam bentuk spanduk atau bendera/panji secara tidak permanen, tergantung pada peristiwa atau masa tertentu. Gejala ini sepertinya mencontoh kebiasaan dalam pertemuan profan, entah sekedar sebagai hiasan atau mengandung unsur persuasif. Liturgi sebaiknya tidak disepadankan dengan pertemuan sosial-politik, yang lazim dipersemarak dengan aneka tulisan propaganda. Kecenderungan “berpropaganda” seperti itu seolah menunjukkan rasa kurang percaya akan daya dan pancaran dari Sabda yang diwartakan selama perayaan itu sendiri. Sepertinya umat dianggap kurang “begitu cerdas” untuk mampu menyerap dan memetik sendiri apa yang mereka alami dalam liturgi, sampai harus ditunjukkan melalui teks-teks semacam itu apa-apa yang perlu mereka pikirkan dan lakukan…. Kadangkala, teks-teks itu tidak berkaitan langsung dengan misteri atau tema yang sedang dirayakan dalam liturginya.

Bagaimana menyusun teks liturgis?
Seringkali diperlukan teks khusus untuk perayaan liturgis tertentu. Misalnya, untuk misa perkawinan, misa tahbisan, misa kaul, misa pelantikan, ibadat pemberkatan rumah, ibadat arwah, dsb. Beberapa hal perlu diperhatikan bila kita hendak menyusun suatu teks liturgis.
[1] Melihat dulu buku-buku liturgis resmi sebagai acuannya. Ini penting, supaya kita tetap berpegang pada prinsip “liturgi adalah milik bersama, seluruh Gereja universal” dan tidak sesuka hati dalam praktiknya. Buku-buku liturgis yang berkaitan dengan perayaan Misa, misalnya buku Tata Perayaan Ekaristi, Bacaan-bacaan, Penanggalan liturgi, Sakramentarium, dsb. Untuk Misa ritual Perkawinan, kita butuhkan pula buku Tata Perayaan Perkawinan. Untuk Misa Tahbisan, perlu juga dilihat buku Tata Perayaan Tahbisan, dsb.
[2] Memilih ritual/rumusan tekstual yang dibutuhkan untuk perayaan tersebut. Buku liturgis biasanya menawarkan beberapa pilihan pada beberapa ritus/ritual tertentu (misalnya: Cara A/B/C, Cara 1/2/3, dsb). Supaya teks liturgis yang kita siapkan tidak terlalu banyak dan tetap mudah dibaca, maka hanya ritus/doa/nyanyian yang sudah dipilihlah yang perlu kita tampilkan dalam teks liturgis khusus itu.
[3] Mengunakan peristilahan yang baku dan benar agar tidak menimbulkan salah pengertian atau salah memperlakukan teksnya (misalnya: judul-judul ritual [Ritus Pembuka, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, dsb], nama-nama benda/simbol yang digunakan).
[4] Membuat rubrik yang gamblang, mudah dimengerti, tidak membingungkan, sebaiknya yang tidak perlu dijelaskan lagi. Untuk liturgi yang sudah lazim dirayakan umat, mungkin rubrik tidak perlu dimuat secara lengkap. Biasanya umat sudah hafal dengan baik. Rubrik lengkap itu cukup untuk para petugas saja. Maka, petunjuk-petunjuk praktis dan yang to the point saja yang sebaiknya dicantumkan, misalnya untuk tata geraknya: duduk, berdiri, berlutut, dsb.
[5] Pilihan huruf yang enak dibaca. Jenis dan ukuran huruf bisa saja mempengaruhi jalannya perayaan. Maka, pilihlah yang wajar dan tidak merepotkan kalau dibaca.
[6] Pembedaan jenis atau ukuran huruf. Dengan bentuk yang berbeda diharapkan pembaca dapat memperlakukannya secara tepat. Maka, perlu juga dibedakan apa yang digunakan untuk rubrik (dengan huruf merah atau miring), yang harus dibacakan dan dibawakan (dengan huruf biasa); mana yang judul (tidak perlu dibacakan), mana yang isi (ajakan, salam, doa, bacaan yang dibawakan).
[7] Perlu ada petunjuk praktis di bagian depan, sebelum teks keseluruhan. Sebaiknya jangan dilupakan juga bahwa sebuah petunjuk praktis perlu ditampilkan sebelum seluruh buku/teks dibaca. Petunjuk informatif itu bisa meliputi: buku-buku yang digunakan, singkatan (untuk menyebut petugas, sumber nyanyian, sumber bacaan, dsb), kode angka (untuk menunjukkan saat pindah ke halaman tertentu, nomer ritual, dsb).
[8] Jangan terlalu banyak teks yang harus dipegang atau dilihat jemaat. Amat baguslah jika semua unsur tekstual bisa dimasukkan dalam satu buku liturgis khusus itu. Jadi, dari judul, rubrik, doa, hingga tata gerak dan syair nyanyiannya sudah disajikan dalam satu buku. Hal ini tentu akan mempermudah jemaat dalam merayakan liturgi, tak perlu direpotkan dengan kesibukan buka-tutup buku atau mencari teks dari beberapa buku yang tersedia untuk perayaan itu. Dampaknya adalah perayaan akan terasa lebih mengalir dan lancar. Sebaiknya cukup satu saja buku/teks yang dipegang jemaat, atau paling banyak dua.

Perlu ketelitian dan kerapian
Menyusun buku/teks liturgis bukanlah pekerjaan yang sangat mudah, namun juga tidak terlalu sukar bagi yang sudah terbiasa membuatnya. Maksud buku/teks liturgis khusus semacam itu adalah untuk membantu memperlancar jalannya perayaan. Maka, perlulah sikap teliti ketika menyiapkannya. Jika ditemukan banyak kesalahan, jelas akan terganggulah keindahan perayaan. Bayangkan, jika sebuah buku liturgis yang disiapkan itu ternyata lupa mencantumkan halaman buku atau judul-judul yang sungguh diperlukan. Saran praktis saja: buku/teks liturgis sebaiknya jangan hanya disiapkan oleh satu orang. Setidaknya, sebelum buku/teks itu digunakan dan diperbanyak untuk umat, perlulah dikoreksi ulang oleh orang lain. Yang menyusun mungkin sudah mengoreksi dan menganggapnya sempurna, tanpa kesalahan. Belum tentu. Mata orang lain mungkin akan lebih awas dan bisa melihat kesalahan atau kekurangan dalam buku/teks itu. Tidak sembarang orang bisa menyiapkan suatu buku/teks liturgis dalam tampilan yang indah. Tampilan yang indah memang sesuatu yang ideal. Kalau tidak bisa mencapainya, cukuplah mengupayakan segi ketelitian dan kerapiannya. Buku/teks yang tanpa salah dan rapi juga sudah menampilkan sisi keindahannya. Maka, cara pengetikan, pilihan jenis huruf, tata letak tulisan dan gambar perlu dipercayakan kepada orang yang cukup kompeten di bidang penerbitan buku atau soal cetak-mencetak. Lebih baik repot sebentar dengan memperhatikan ketelitian dan kerapiannya daripada buku/teks itu malah mengacaukan seluruh perayaan.

C. H. Suryanugraha, OSC
(seijin Aegidius Eko Aldilanto O. Carm.)

TATA KATA LITURGIS

Antara sabda dan kata-kata
Liturgi adalah suatu kegiatan doa bersama dari Gereja. Doa liturgis sebagai doa resmi Gereja adalah salah satu ungkapan yang paling khas, di mana iman Gereja dapat dinyatakan secara sungguh otentik (Edward Schillebeeckx). Dalam liturgi sebagai doa, Gereja menjalin komunikasi dengan Allah, dengan pengantaraan Kristus, Putera-Nya. Kristus adalah Sang Sabda yang menghubungkan umat dengan Allah, Sabda Allah sendiri yang menyapa manusia. Gereja mengimani Kristus, Sabda Allah yang menjadi manusia, dan mengungkapkan imannya itu dalam perayaan kudus yang dipimpin oleh Kristus sendiri. Kehadiran Kristus dalam perayaan liturgis dilambangkan dalam suatu pewartaan Sabda, pembacaan Kitab Suci. Dalam Misa, peristiwa Sabda yang menyapa umat itu diberi tempat secara khusus dalam Liturgi Sabda. Selain itu, tanda kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi juga dinyatakan dalam pribadi imam selebran, roti dan anggur, dan umat yang berkumpul. Dalam tulisan-tulisannya mengenai liturgi sakramen Agustinus memaknai “sabda” dalam tiga arti: Yesus sendiri, Kitab Suci yang diwartakan, dan formula (rumusan doa) sakramental. Arti pertama dan kedua sudah disinggung. Arti ketiga juga penting, bahwa formula sakramental merupakan “sabda” yang menguduskan dan menyelamatkan. Maka, perayaan liturgis sendiri secara simbolis merupakan suatu “peristiwa sabda”, saat Allah berbicara. Namun, lebih daripada itu, Allah dan umat beriman pun saling berkomunikasi dan berdialog. Liturgi tak terjadi searah, melainkan selalu timbal balik. Sebagai peristiwa yang berdimensi ilahi-manusiawi perlulah liturgi itu diungkapkan secara nyata. Cara komunikasi manusiawi dimanfaatkan untuk memenuhi maksud simbolisnya. Allah sendiri telah menggunakan bahasa manusia agar diri-Nya dikenal dan dipahami manusia. Bahasa adalah medium komunikasi diri yang meliputi aneka pengertian: yang simbolis atau yang lugas, yang gestural (gerak, sikap tubuh) atau yang verbal (teks, doa, bacaan, dsb). Allah sendiri juga berbahasa simbolis melalui unsur-unsur yang diambil dari kehidupan manusia (orang, benda, kata, tindakan). Sementara umat tidak bisa tidak harus juga menggunakan kemampuan yang dimilikinya atau memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya. Salah satunya adalah “kata-kata” atau ungkapan verbal yang dijadikan sarana komunikasi antara umat beriman dengan Allahnya. Ada dua cara pengungkapan “kata-kata”, yakni secara lisan dan tulisan. Jadi, di dalam Misa pun akan selalu kita temui peran “kata-kata” yang amat penting itu. Ada “kata-kata” yang dinyatakan secara lisan tanpa teks acuan yang tertulis, dan ada pula “kata-kata” yang dirumuskan dalam bentuk tulisan. Bagaimana “kata-kata” itu ditata dan berperan dalam Misa? Hal inilah yang akan kita simak satu per satu melalui uraian berikut ini.

Sabda dan kata-kata sebagai teks liturgis
Sabda (Word) adalah sesuatu yang abstrak. Ia baru ditangkap ketika tertuang dalam tulisan atau diungkapkan dalam kata-kata (words). Sabda Allah tertulis dalam Kitab Suci, maka Kitab Suci disbeut juga Sabda atau Firman Allah. Jika hanya dituliskan dan dibiarkan sebagai tulisan, tanpa dibaca atau diwartakan maka Sabda itu tidak berbicara, tidak bergema, tidak berdaya guna. Dalam perayaan liturgis, Sabda Allah itu dibuat berbicara, supaya berdaya guna bagi yang mendengarkannya, supaya juga ditanggapi oleh yang mendengarkannya. Ketika Kitab Suci dibacakan dalam liturgi maka Allah sendirilah yang sedang bersabda kepada umat-Nya (PUMR 29). Maka, “kata-kata” pun menjadi Sabda yang bisa didengar, dicerna, berguna bagi kehidupan dan keselamatan. Sabda seolah mengerdil dalam kata-kata atau tulisan, namun bisa kembali meraksasa jangkauannya bila tulisan dari Sabda itu diperlakukan semestinya: dihidupkan (lewat dibaca atau dibawakan) dalam liturgi! Dampak dari “tulisan” tentang Sabda bisa ke mana-mana, tak terduga. Tapi, bisa juga tak berdampak apa-apa bagi yang tuli telinga dan hatinya…. Seluk beluk tentang kata ini kemudian harus diamati dalam suatu bidang yang disebut “teks liturgis”. Teks liturgis adalah kata-kata yang digunakan dalam perayaan liturgi. Sabda dan kata-kata yang digunakan dalam liturgi dikelola di bidang itu, agar sungguh mampu berdaya guna bagi setiap peraya liturgi.

Teks dalam buku liturgis resmi
Sebagai kegiatan doa yang dilakukan secara bersama, liturgi memerlukan teks yang pasti dan berlaku untuk setiap peraya selama perayaan. Teks liturgis turut menjamin keberadaan dan keberlangsungan perayaan liturgi itu sendiri. Tidak ada liturgi tanpa teks liturgis. Sebagai doa resmi Gereja, maka teks liturgis pun juga harus resmi. Artinya, teks itu diterbitkan atau disahkan oleh Gereja, dalam hal ini oleh Takhta Suci Vatikan. Teks-teks yang sudah disahkan itu diwujudkan dalam suatu buku liturgis resmi (Latin: libri liturgici, Inggris: liturgical books). Ada perbedaan antara “buku liturgis” dengan “buku liturgi”. Yang satu dengan “s”, yang lainnya tanpa. Beda tipis dalam penulisan, namun makna dan fungsinya berlainan, meskipun keduanya komplementer, bisa saling melengkapi. Dapat dikatakan bahwa “buku liturgi” adalah buku, tulisan, atau bahasan tentang liturgi, termasuk wilayah keilmuan, “teologi kedua” (theologia secunda). Sedangkan “buku liturgis” adalah buku atau teks yang digunakan dalam praktik perayaan liturgi, bagian dari “teologi pertama” (theologia prima). Ada buku liturgis yang memiliki nilai simbolis khusus, yakni Evangeliarium sebagai simbol Kristus sendiri.

Buku liturgis untuk Misa: teks bacaan, teks doa
Sumber-sumber tekstual telah digunakan berabad-abad dalam perayaan liturgi. Kita coba bedakan dalam dua jenis utama: teks bacaan dan teks doa.
[1] Teks bacaan atau teks skriptural bersumber dari Kitab Suci resmi Gereja Katolik. Teks-teks itu dikelompokkan menjadi buku-buku liturgis yang dinamai Buku Bacaan Misa (Leksionarium), Kitab Injil (Evangeliarium), dan Mazmur Tanggapan (Responsorium, Graduale).
[2] Teks doa atau teks eukologis (Yunani: euche = doa, dan logos = ilmu) bersumber dari karya-karya para Bapa Gereja (Patristik) atau Magisterium Gereja. Teks-teks eukologis itu dikelompokkan dalam buku liturgis; di antaranya adalah Buku Doa-doa Misa (Sakramentarium), Tata Perayaan Ekaristi (Misale), dan buku untuk perayaan-perayaan khusus (Rituale dan Pontifikale). Ada juga beberapa penulis yang memasukkan bacaan Kitab Suci dan nyanyian biblis ke dalam eukologi. Eukologi termasuk dalam studi tentang teks-teks doa liturgis pada umumnya. Suatu studi tentang hukum-hukum yang mengatur formulasi dan isi doa-doa liturgis dalam buku-buku ritual. Misalnya: [a] prefasi, doa syukur agung, berkat meriah (mis. atas air untuk baptis), dan doa konsekrasi (mis. atas krisma, tahbisan); [b] doa-doa presidensial (mis. doa pembuka misa, doa persiapan persembahan, doa sesudah komuni, doa untuk jemaat, doa mazmur). Teks eukologis pada dasarnya adalah puitik, metaforik, atau penuh-imaji. Makna doa-doa itu tidak eksak, tapi lebih menawarkan percikan atau malah kiasan.

Jenis teks liturgis lainnya
Dua jenis utama yang telah disebut di atas (teks bacaan dan teks doa) dapat ditambahi lagi dengan beberapa jenis lain. Kita sebut saja satu per satu.
[1] Rubrik: teks pada buku liturgis yang menjelaskan tata laksana perayaan: siapa yang bertugas, apa yang harus disiapkan/digunakan, bagaimana melaksanakannya, dsb. Kata “rubrik” diturunkan dari kata Latin ruber, artinya merah. Dalam buku liturgis resmi biasanya teks itu dicetak dengan huruf merah (ruber), maka teks semacam itu disebut rubrik. Rubrik tidak perlu dibacakan selama perayaan, cukup diketahui oleh petugas atau umat yang harus berpartisipasi aktif.
[2] Ajakan: teks yang dibawakan oleh imam atau petugas lain ini biasanya mendahului doa atau tindakan yang meminta keterlibatan jemaat. Misalnya: “Marilah kita berdoa…; Berdoalah saudara-saudari…; Marilah kita saling menyampaikan…”; dsb. Sifatnya memang mengajak, maka perlu disampaikan dengan ramah dan bersimpati. Demi komunikasi yang hidup, sebaiknya teks semacam ini dibawakan secara spontan, sudah hafal, pandangan petugas tak perlu terpaku pada teks lagi. Jika dilakukan oleh Imam Selebran, ia membawakannya dengan gerak tangan membuka.
[3] Salam: teks ini biasanya dibawakan oleh Imam Selebran untuk menyapa jemaat dalam kapasitasnya sebagai pribadi Kristus dan pemimpin jemaat (in persona Christi dan in persona Ecclesiae). Dari TPE kita temukan contohnya: “Tuhan bersamamu; Tuhan sertamu.” Teks ini dibawakan dengan gerak tangan membuka, seperti ketika menyampaikan ajakan. Jemaat pun menanggapinya dengan rumusan khusus berupa jawaban atau seruam.
[4] Tanggapan: teks yang dibawakan oleh jemaat ini dapat dibedakan menjadi tanggapan yang berupa “jawaban” dan “seruan”. Teks jawaban untuk menanggapi salam dan ajakan Imam Selebran. Misalnya: “Dan bersama rohmu; Dan sertamu juga.” Sedangkan teks seruan (aklamasi) adalah untuk menegaskan/mengiyakan doa-doa dan berkat yang dibawakan oleh Imam Selebran. Contohnya: “Amin; Aklamasi Kudus; Aklamasi Anamnesis.”
[5] Renungan: jenis teks ini biasanya tidak langsung termuat dalam buku liturgis, namun ada kesempatan bagi imam atau petugas untuk membacakannya. Teks yang bersifat renungan ini bisa berupa amanat singkat, homili, atau bacaan rohani yang sesuai dengan misteri perayaannya.
[6] Nyanyian: teks nyanyian perlu juga disajikan secara khusus, entah dalam suatu kumpulan nyanyian-nyanyian (buklet) terlepas yang hanya digunakan untuk perayaan tertentu; atau yang dimasukkan dan menjadi bagian utuh dalam buku perayaan untuk kesempatan tertentu; atau yang disatukan dalam sebuah buku untuk berbagai keperluan (misalnya: Puji Syukur, Yubilate, Madah Bakti, dsb).
[7] Penjelasan: jika rubrik dirasa kurang memadai, kadang kala perlu juga disiapkan teks khusus yang isinya penjelasan bagi jemaat. Teks penjelasan itu dapat dibacakan untuk diketahui jemaat. Penjelasan itu bisa mengenai apa yang harus dilakukan jemaat pada bagian tertentu dalam perayaan, tentang suatu ritus/simbol yang mungkin belum dipahami jemaat. Atau apa pun, asal dimaksudkan untuk membantu jemaat agar bisa lebih menghayati perayaan yang mereka hadiri dan membantu memperlancar jalannya perayaan.

Teks liturgis: dibaca, dibacakan, dibawakan?
Bagaimana memperlakukan teks? Biasanya sudah ditunjukkan dalam rubrik. Ada teks yang oleh pemimpin/petugas dibaca sendiri dalam hati, dibacakan dengan suara lembut, atau dibacakan dengan suara lantang (PUMR 32-33). Jika diberi unsur musikal maka ada teks yang dibawakan dengan cara didaras atau dilagukan (PUMR 38). Ketika dibawakan oleh pelakunya, maka teks itu “mewujudkan diri” bagi pendengarnya. Teks itu menjadi hidup dan menciptakan komunikasi antara pembawa (pembaca!) teks dengan pendengarnya. Jika teks itu adalah suatu doa, maka jemaat yang mendengarkannya pun melibatkan diri dalam doa yang dibawakan si petugas, dan doa itu menjadi doa jemaat juga. Singkatnya, cara memperlakukan teks dapat dibagi menjadi dua:
[1] dibaca: dilakukan sendiri oleh pelakunya, entah sebelum atau dalam perayaan, dan
[2] dibawakan: dilakukan oleh pelakunya dalam perayaan dengan mengeluarkan suara. Ada dua cara bersuara: dengan lembut atau dengan lantang. Yang dengan lembut adalah doa-doa yang diucapkan oleh Imam Selebran, namun tak perlu diperdengarkan kepada jemaat. Jika bersuara dengan lantang, masih ada tiga macam cara lagi: dibacakan, didaraskan, atau dilagukan. Suara lantang dan ucapan yang jelas amat disarankan agar apa yang dibawakan itu mudah ditangkap oleh jemaat.

Awas, “virus verbalisme”!
Istilah verbalisme (Latin: verbum = kata) sesungguhnya berbau negatif. Kita gunakan di sini untuk menggambarkan suatu gejala yang cenderung menampilkan kata-kata secara kurang tepat atau berlebihan sehingga dapat mempengaruhi keindahan perayaan liturgi. Liturgi sendiri sudah mengandung banyak unsur kata. Maka, sebaiknya jangan dibanjiri lagi dengan kata-kata yang tidak penting dan justeru akan menjadi hambatan atau gangguan bagi “arus mengalirnya” perayaan liturgi. Perayaan bisa terasa tersendat-sendat, bertele-tele, atau bahkan terbelokkan maknanya, karena muncul banyak kata-kata yang kurang berdayaguna. Tanpa terasa, kebiasaan yang keliru bisa menjadi seperti virus yang menggerogoti “kesehatan” liturgi. Verbalisme hanya merupakan salah satu contoh virus yang ada dalam praktik berliturgi kita. Masih ada beberapa jenis virus lagi, misalnya klerikalisme, instrumentalisme, ritualisme, rubrikisme, seremonialisme, dsb.

Apa saja contoh virus verbalisme itu?
Virus verbalisme selalu berkaitan dengan sikap yang keliru dalam memperlakukan kata-kata dalam perayaan liturgi. Semoga contoh-contoh yang sering muncul dalam Misa berikut ini membantu menjelaskan.
[1] Petugas membacakan judul-judul ritus yang sebenarnya adalah bagian dari rubrik, maka tidak perlu disuarakan (Imam: “Doa Umat”; Lektor: “Bacaan Pertama”, “Mazmur Tanggapan [dengan refrein…]”, “Pengumuman”, dsb). Liturgi bukan sejenis upacara sipil kenegaraan yang biasanya menyebut rubrik atau nama-nama bagian yang akan dilakukan petugas/peserta: “Inspektur upacara memasuki/meninggalkan tempat upacara”, “Lagu kebangsaan”, “Pembacaan Pancasila”, “Istirahat di tempaaat, graaak!”, dsb.
[2] Doa-doa spontan (bukan teks resmi dalam buku liturgis) yang terlalu panjang dan tanpa struktur sehingga terkesan mengulang-ulang gagasan atau seperti mengudar perasaan belaka. Baik imam maupun umat seringkali tidak menyadari bahwa doa semacam itu kurang cocok untuk perayaan bersama yang harus merelatifkan keinginan, selera, dan kemampuan pribadi setiap peserta. Dengan kata lain, pendoa spontan perlu tahu diri di tengah kepentingan bersama.
[3] Homili yang disampaikan oleh Imam/Diakon juga bisa terserang virus verbalisme. Homili yang berkepanjangan, berputar-putar, membingungkan, atau tidak mudah dipahami bisa digolongkan dalam gejala verbalisme ini.
[4] Memasang tulisan pesan (bersifat tematis, moral, biblis) pada dinding, jendela, atau objek tertentu dalam tempat perayaan (ambo, altar), entah dalam bentuk spanduk atau bendera/panji secara tidak permanen, tergantung pada peristiwa atau masa tertentu. Gejala ini sepertinya mencontoh kebiasaan dalam pertemuan profan, entah sekedar sebagai hiasan atau mengandung unsur persuasif. Liturgi sebaiknya tidak disepadankan dengan pertemuan sosial-politik, yang lazim dipersemarak dengan aneka tulisan propaganda. Kecenderungan “berpropaganda” seperti itu seolah menunjukkan rasa kurang percaya akan daya dan pancaran dari Sabda yang diwartakan selama perayaan itu sendiri. Sepertinya umat dianggap kurang “begitu cerdas” untuk mampu menyerap dan memetik sendiri apa yang mereka alami dalam liturgi, sampai harus ditunjukkan melalui teks-teks semacam itu apa-apa yang perlu mereka pikirkan dan lakukan…. Kadangkala, teks-teks itu tidak berkaitan langsung dengan misteri atau tema yang sedang dirayakan dalam liturginya.

Bagaimana menyusun teks liturgis?
Seringkali diperlukan teks khusus untuk perayaan liturgis tertentu. Misalnya, untuk misa perkawinan, misa tahbisan, misa kaul, misa pelantikan, ibadat pemberkatan rumah, ibadat arwah, dsb. Beberapa hal perlu diperhatikan bila kita hendak menyusun suatu teks liturgis.
[1] Melihat dulu buku-buku liturgis resmi sebagai acuannya. Ini penting, supaya kita tetap berpegang pada prinsip “liturgi adalah milik bersama, seluruh Gereja universal” dan tidak sesuka hati dalam praktiknya. Buku-buku liturgis yang berkaitan dengan perayaan Misa, misalnya buku Tata Perayaan Ekaristi, Bacaan-bacaan, Penanggalan liturgi, Sakramentarium, dsb. Untuk Misa ritual Perkawinan, kita butuhkan pula buku Tata Perayaan Perkawinan. Untuk Misa Tahbisan, perlu juga dilihat buku Tata Perayaan Tahbisan, dsb.
[2] Memilih ritual/rumusan tekstual yang dibutuhkan untuk perayaan tersebut. Buku liturgis biasanya menawarkan beberapa pilihan pada beberapa ritus/ritual tertentu (misalnya: Cara A/B/C, Cara 1/2/3, dsb). Supaya teks liturgis yang kita siapkan tidak terlalu banyak dan tetap mudah dibaca, maka hanya ritus/doa/nyanyian yang sudah dipilihlah yang perlu kita tampilkan dalam teks liturgis khusus itu.
[3] Mengunakan peristilahan yang baku dan benar agar tidak menimbulkan salah pengertian atau salah memperlakukan teksnya (misalnya: judul-judul ritual [Ritus Pembuka, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, dsb], nama-nama benda/simbol yang digunakan).
[4] Membuat rubrik yang gamblang, mudah dimengerti, tidak membingungkan, sebaiknya yang tidak perlu dijelaskan lagi. Untuk liturgi yang sudah lazim dirayakan umat, mungkin rubrik tidak perlu dimuat secara lengkap. Biasanya umat sudah hafal dengan baik. Rubrik lengkap itu cukup untuk para petugas saja. Maka, petunjuk-petunjuk praktis dan yang to the point saja yang sebaiknya dicantumkan, misalnya untuk tata geraknya: duduk, berdiri, berlutut, dsb.
[5] Pilihan huruf yang enak dibaca. Jenis dan ukuran huruf bisa saja mempengaruhi jalannya perayaan. Maka, pilihlah yang wajar dan tidak merepotkan kalau dibaca.
[6] Pembedaan jenis atau ukuran huruf. Dengan bentuk yang berbeda diharapkan pembaca dapat memperlakukannya secara tepat. Maka, perlu juga dibedakan apa yang digunakan untuk rubrik (dengan huruf merah atau miring), yang harus dibacakan dan dibawakan (dengan huruf biasa); mana yang judul (tidak perlu dibacakan), mana yang isi (ajakan, salam, doa, bacaan yang dibawakan).
[7] Perlu ada petunjuk praktis di bagian depan, sebelum teks keseluruhan. Sebaiknya jangan dilupakan juga bahwa sebuah petunjuk praktis perlu ditampilkan sebelum seluruh buku/teks dibaca. Petunjuk informatif itu bisa meliputi: buku-buku yang digunakan, singkatan (untuk menyebut petugas, sumber nyanyian, sumber bacaan, dsb), kode angka (untuk menunjukkan saat pindah ke halaman tertentu, nomer ritual, dsb).
[8] Jangan terlalu banyak teks yang harus dipegang atau dilihat jemaat. Amat baguslah jika semua unsur tekstual bisa dimasukkan dalam satu buku liturgis khusus itu. Jadi, dari judul, rubrik, doa, hingga tata gerak dan syair nyanyiannya sudah disajikan dalam satu buku. Hal ini tentu akan mempermudah jemaat dalam merayakan liturgi, tak perlu direpotkan dengan kesibukan buka-tutup buku atau mencari teks dari beberapa buku yang tersedia untuk perayaan itu. Dampaknya adalah perayaan akan terasa lebih mengalir dan lancar. Sebaiknya cukup satu saja buku/teks yang dipegang jemaat, atau paling banyak dua.

Perlu ketelitian dan kerapian
Menyusun buku/teks liturgis bukanlah pekerjaan yang sangat mudah, namun juga tidak terlalu sukar bagi yang sudah terbiasa membuatnya. Maksud buku/teks liturgis khusus semacam itu adalah untuk membantu memperlancar jalannya perayaan. Maka, perlulah sikap teliti ketika menyiapkannya. Jika ditemukan banyak kesalahan, jelas akan terganggulah keindahan perayaan. Bayangkan, jika sebuah buku liturgis yang disiapkan itu ternyata lupa mencantumkan halaman buku atau judul-judul yang sungguh diperlukan. Saran praktis saja: buku/teks liturgis sebaiknya jangan hanya disiapkan oleh satu orang. Setidaknya, sebelum buku/teks itu digunakan dan diperbanyak untuk umat, perlulah dikoreksi ulang oleh orang lain. Yang menyusun mungkin sudah mengoreksi dan menganggapnya sempurna, tanpa kesalahan. Belum tentu. Mata orang lain mungkin akan lebih awas dan bisa melihat kesalahan atau kekurangan dalam buku/teks itu. Tidak sembarang orang bisa menyiapkan suatu buku/teks liturgis dalam tampilan yang indah. Tampilan yang indah memang sesuatu yang ideal. Kalau tidak bisa mencapainya, cukuplah mengupayakan segi ketelitian dan kerapiannya. Buku/teks yang tanpa salah dan rapi juga sudah menampilkan sisi keindahannya. Maka, cara pengetikan, pilihan jenis huruf, tata letak tulisan dan gambar perlu dipercayakan kepada orang yang cukup kompeten di bidang penerbitan buku atau soal cetak-mencetak. Lebih baik repot sebentar dengan memperhatikan ketelitian dan kerapiannya daripada buku/teks itu malah mengacaukan seluruh perayaan.

C. H. Suryanugraha, OSC
(seijin Aegidius Eko Aldilanto O. Carm.)

Sabtu, 06 Februari 2010

Sekilas tentang: Tata Perayaan Ekaristi `Recognitio'

Pada “Tahun Ekaristi” 2005 ini, Gereja Katolik Indonesia mulai menggunakan Tata Perayaan Ekaristi (TPE) baru. Tepatnya mulai berlaku pada saat dipromulgasikan secara resmi oleh Konferensi Waligereja Indonesia pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, 29 Mei 2005, dengan masa peralihan hingga Hari Minggu Pertama Adven, 27 November 2005.
MENGAPA TPE BARU?

TPE lama dipakai sejak tahun 1979 sebagai `ad experimentum' (= edisi percobaan) dan belum memperoleh `recognitio' (= pengakuan) dari Tahta Suci; sifatnya sementara. TPE baru telah menerima `approbatio' (= persetujuan) dari para Bapa Uskup seluruh Indonesia dan menerima `recognitio' dari Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen di Vatikan Roma; sifatnya tetap dan definitif.

APA TUJUANNYA?

Tujuan dari perubahan ini adalah menyesuaikan dengan dokumen, ketentuan dan pedoman Liturgi Gereja Universal berkaitan dengan Ekaristi, agar bersama seluruh Gereja Universal kita merayakan misteri kehadiran Tuhan dalam Ekaristi yang luhur itu dengan sikap batin dan tata cara yang penuh hormat dan khidmat.
TPE LAMA VS TPE BARU: APANYA YANG BEDA?

Yang berubah dalam “TPE Rekonyisi” (= recognitio) bukanlah tata perayaannya, tetapi teksnya baik dalam rubrik maupun doa-doa. TPE yang baru jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan secara teologis, liturgis, dan pastoral, serta lebih setia dan sesuai dengan teks Latinnya.

Perbedaan paling pokok terletak pada bagian Doa Syukur Agung (DSA). Dalam TPE lama, kita menggunakan model dialogis dan partisipatif, di mana umat ikut mendoakan secara vokal bagian-bagian tertentu dalam DSA. Dalam TPE baru, hanya imam yang mendoakan DSA, sebab DSA merupakan doa presidensial, yaitu doa yang hanya diucapkan oleh pemimpin Ekaristi.

“Doa-doa itu disampaikan oleh imam kepada Allah atas nama seluruh umat kudus dan semua yang hadir, dan melalui dia Kristus Sendiri memimpin himpunan umat. Oleh karena itu, doa-doa tersebut disebut `doa presidensial' (doa pemimpin)” (Pedoman Umum Missale Romawi #30).

Partisipasi umat mengucapkan bagian-bagian tertentu dari DSA kurang selaras dengan prinsip partisipasi “menurut tugas dan peran masing-masing” (PUMR #17).

JADI, UMAT HANYA `MENONTON' MISA?

Tidak! Umat, sesuai perannya, terlibat aktif dalam Perayaan Ekaristi, baik dalam DSA maupun dalam keseluruhan Misa Kudus. Dalam DSA, umat terlibat aktif melalui aklamasi pada dialog pembuka prefasi, kudus, aklamasi anamnese, dan aklamasi AMIN meriah pada akhir Doxologi penutup. Dalam keseluruhan Misa Kudus, umat terlibat aktif melalui doa-doa, sikap batin dan tata cara yang pantas, hormat dan khidmat.

BAGAIMANA BENTUK JAWABAN DAN AKLAMASI YANG DIMAKSUD?

Dalam TPE baru, imam yang memimpin Perayaan Ekaristi `in persona Christi' (= bertindak selaku pribadi Kristus), menyapa umat bukan dengan “Semoga Tuhan beserta kita” seperti pada TPE lama, melainkan dengan “Tuhan bersamamu” atau “Tuhan sertamu” (`Dominus vobiscum'). Umat menanggapi sapaan imam dengan, “Dan sertamu juga” atau rumus baru “Dan bersama rohmu” (`Et cum spiritu tuo').

APPROBATIO DAN RECOGNITIO

APPROBATIO DAN RECOGNITIO

Dalam bidang liturgi ada buku-buku edisi acuan (editio typica) yang harus mendapat approbatio dan recognitio. Approbatio berarti persetujuan dari pimpinan Gereja setempat (Uskup atau Konferensi Keuskupan). Misalnya: Tata Perayaan Ekaristi sebagai terjemahan dari Ordo Missae yang adalah sebuah edisi acuan haruslah disetujui oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Para Uskup bersama-sama membaca teks terjemahan, memberikan usul-saran perbaikan atau penyempurnaan dan mendiskusikannya lalu mengambil keputusan untuk menyetujuinya bersama atau menolaknya. Bila disetujui lewat voting atau aklamasi, maka teks TPE mendapat approbatio dari KWI dan harus diajukan ke Roma untuk memperoleh recognitio. (Rm. Bernard Boli Ujan, SVD)

Recognitio berarti pemeriksaan atas teks-teks liturgi yang dilakukan oleh pimpinan Gereja di Roma, yaitu Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen.

Biasanya Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen percaya pada hasil kerja pimpinan Gereja setempat (approbatio) dan dalam hal-hal yang paling pokok dan penting dibuat pemeriksaan teliti demi menjamin ketepatan dan kebenaran iman. Seluruh proses ini dipandang sebagai proses pengesahan sebuah teks baku dalam bidang liturgi. Patut kita ingat bahwa teks yang dipakai dalam liturgi mengungkapkan iman dan mempengaruhi tindakan nyata. Kalau teks tidak tepat, sadar atau tidak keyakinan iman dan tindakan nyata turut dipengaruhi oleh teks seperti itu. Dalam hal ini berlakulah pepatah: lex orandi adalah lex credendi dan lex vivendi. Apa yang dirumuskan dalam doa liturgis haruslah sesuai dengan rumusan-rumusan iman dan menjadi pedoman untuk tindakan nyata dalam hidup sehari-hari. (Rm. Bernard Boli Ujan, SVD)

Sharing lagi tentang tata gerak liturgi

Saat saya mencermati buku terbitan Keuskupan Agung Semarang yang berjudul "Pedoman Pelayanan Pastoral Liturgi", hal yang berkaitan dengan tata gerak tertulis begini :

10.1. Tata gerak dalam perayaan liturgi mengungkapkan hidup dan sikap batin yang mau menanggapi kehadiran Allah yang menyelamatkan. Maka yang paling penting diperhatikan adalah hidup dan sikap batin yang pantas, dan dari hidup batin itulah mengalir tata gerak yang lahiriah. (nah.. kalimat berikut ini yang penting >>) MELAKSANAKAN ATURAN TATA GERAK DEMI ATURAN ITU SENDIRI TENTU BUKAN SIKAP YANG TEPAT.

10.2. PUMR menyatakan bahwa tata gerak yang disebut dalam TPE bersifat DIANJURKAN dan BUKAN DIWAJIBKAN. Oleh karena itu tata gerak dalam Perayaan Ekaristi di KAS dapat DISESUAIKAN dengan situasi dan kondisi jemaat dan tempat perayaan.

** Yang memberi huruf besar semua pada kata tertentu bukan dari buku tersebut, tapi dari saya sendiri sebatas untuk menegaskan, bahwa tata gerak berasal dari hidup dan sikap batin yang pantas, bukan keharusan tapi dianjurkan dan jika kita melakukan tata gerak tersebut karena aturan dan bukan dari sikap batin, tentu hal ini tidak tepat. begitu menurut saya..

TATA GERAK IMAM DAN PELAYAN ALTAR

PUMR 274 :
Berlutut, yakni tata gerak yang dilakukan dengan menekuk lutut kanan sampai menyentuh lantai, merupakan tanda sembah sujud. Oleh karena itu, berlutut dikhususkan untuk menghormati Sakramen Mahakudus dan Salib Suci yang digunakan dalam Liturgi Jumat Agung sampai sebelum memasuki Misa Malam Paskah.

Dalam Misa, hanya tiga kali imam berlutut, yaitu pada saat konsekrasi sesudah memperlihatkan hosti dan sesudah menunjukkan piala, dan sebelum imam menyanbut Tubuh Kristus. Ketentuan-ketentuan khusus untuk Misa konselebrasi dipaparkan pada tempat yang bersangkutan (bdk.no.210-251).

Kalau di panti imam ada tabernakel dengan Sakramen Mahakudus di dalamnya, maka imam, diakon dan pelayan-pelayan lain selalu berlutut pada saat mereka tiba di depan altar dan pada saat akan meninggalkan panti imam. Tetapi dalam Misa sendiri mereka tidak perlu berlutut.

Di luar perayaan Ekaristi, setiap kali lewat di depan Sakramen Mahakudus, orang berlutut, kecuali kalau mereka sedang dalam perarakan.

Para pelayan yang membawa salib perarakan atau lilin menundukkan kepala sebagai ganti berlutut.

PUMR 275
275. Di samping berlutut, ada juga tata gerak membungkuk dan menundukkan kepala. Keduanya merupakan tanda penghormatan kepada orang atau barang yang merupakan representasi pribadi tertentu.
a. Menundukkan kepala dilakukan waktu mengucapkan nama Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama santo / santa yang diperingati dalam Misa yang bersangkutan.
b. Membungkukkan badan atau membungkuk khidmat dilakukan waktu
(1) menghormati altar;
(2) sebelum memaklumkan Injil, waktu mengucapkan doa "sucikanlah hati dan budiku, ya Allah yang mahakuasa"
(3) dalam syahadat, waktu mengucapkan kata-kata "Ia dikandung dari Roh Kudus dan Ia menjadi manusia";
(4) dalam persiapan persembahan, waktu mengucapkan doa "Dengan rendah hati dan tulus";
(5) dalam Kanon Romawi pada kata-kata "Allah yang mahakuasa, utuslah malaikat-Mu"
Membungkuk juga dilakukan oleh diakon waktu minta berkat kepada imam sebelum mewartakan Injil. Kecuali itu, imam juga membungkuk sedikit waktu mengucapkan kata-kata Tuhan pada saat konsekrasi: "Terimalah "

Rupa-rupa Aktivitas liturgi kita 1

Berdasarkan Missale Romanum, editor typica, Typis Polyglottis Vaticanis 2002 sekaligus sebagai revisi dari TPE yang diterbitkan PWI – Liturgi 1979.

Arti Simbol
Tanda Salib: Dibuat ketika
1. Memasuki gereja sambil menandai diri dengan air suci yang ada di samping pintu masuk gereja sebagai tanda peringatan pembaptisan yang kita terima.
2. Mengawali dan mengakhiri Perayaan Ekaristi.
3. Menerima percikan air suci kalau dibuat sebagai pengganti Pernyataan Tobat. Tanda tersebut mengungkapkan kesadaran kita sebagai anak-anak Allah dan kesetiaankita pada janji baptis.
4. Memulai bacaan Injil dengan membuat tanda salib pada dahi, mulut dan dada, untuk mengungkap hasrat agar budi diterangi, mulut disanggupkan untuk mewartakan, dan hati diresapi oleh Sabda Tuhan.
5. Menerima berkat pengutusan pada bagian Penutup.

Berdiri: dilakukan ketika
1. Menyambut Imam dan para Pelayan yang berarak menuju ruang altar. Sikap ini menunjukan penghormatan kepada Allah yang datang dan hadir di tengah-tengah Umat. Dari awal hingga Doa Pembuka, kita mengambil sikap berdiri (Tobat: hendaknya berlutut apabila dimungkinkan).
2. Pemaklumam injil sebagai tanda hormat pada Tuhan Yesus Kristus yang bangkit mulia dan yang hendak memaklumkan sabda-Nya.
3. Mengucapkan Syahadat untuk memperbarui pengakuan iman sebagai tanda kesediaan menjadi saksi iman.
4. Menyampaikan Doa Umat, sebagai tanda hormat kepada Allah yang setia mendengarkan dan mengabulkan doa-doa Umat.
5. Memulai Doa Syukur Agung (Prefasi) hingga Kudus sebagai tanda hormat dan syukur kepada Allah.
6. Mengucapkan/menyanyikan Bapa Kami sebagai tanda pujian dan permohonan.
7. Imam mengucapkan Doa Sesudah Komuni sebagai tanda syukur.

Berlutut: dilakukan ketika
1. Mengucapkan Doa Tobat untuk menunjukkan sikap kerendahan hati dan permohonan ampun.
2. Mengucapkan “...Ia dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria” (Syahadat Para Rasul) khusus pada hari raya Natal, sebagai tanda ungkapan iman yang mendalam.
3. Imam mendoakan kisah institusi (kisah Perjamuan Tuhan) dalam Doa Syukur Agung, termasuk di dalamnya kata-kata konsekrasi, sebagai tanda hormat dan pujian.
4. Mempersiapkan pada waktu akan menyambut komuni dan meresapkan kehadiran Tuhan Yesus di dalam hati pada waktu telah menyambut komuni sebagai sikap sembah sujud untuk hormat kepada Allah.

(Berlutut/Berdiri: Umat diharapkan berlutut; apabila tidak memungkinkan, Umat hendaknya berdiri).

Menebah Dada (baca: menepuk dada) dibuat ketika mengucapkan kata-kata “...saya berdosa, saya sungguh berdosa ...” pada Pernyataan Doa Tobat “Saya mengaku” (Ritus Pembuka) tanda tobat dan penyesalan.
Menyembah: dilakukan ketika Imam mengangkat Tubuh dan Darah Kristus setelah mengucapkan kata-kata konsekrasi sebagai tanda hormat dan bakti pada Tuhan.

Menundukan kepala: dilakukan ketika
1. Iman selesai mengangkat Tubuh dan Darah Kristus, sesudah mengucapkan kata-kata konsekrasi, sebagai tanda hormat dan bakti pada Tuhan.
2. Menerima berkat sebagai tanda kesediaan dan kerendahan hati.

Membungkuk: dilakukan ketika mengucapkan “Ia dikandung dari Roh Kudus dilahirkan oleh Perawan Maria dan menjadi manusia” (Syahadat Nikea – Konstantinopel) atau “yang dikandung dari Roh Kudus dan dilahirkan oleh Perawan Maria” (Syahadat Para Rasul) sebagai tanda ungkapan iman.

Mengatupkan tangan: dibuat ketika akan menyambut komuni (mengatupkan tangan di dada) sebagai ungkapan kesetiaan kepada Tuhan.

Duduk: dilakukan ketika
1. Kitab Suci dibacakan (selain Injil) sebagai ungkapan kesediaan mendengar dan merenungkan Sabda Tuhan.
2. Persiapan persembahan sebagai ungkapan kesediaan memberi diri kepada Tuhan dengan penuh penyerahan.
3. Petugas membacakan pengumuman sebagai ungkapan kesediaan mendengarkan dan melaksanakan tugas kewajiban.

Semoga Bermanfaat.

Uskup Kojuator

Uskup Kojuator

Pada hari Rabu, tanggal 28 Oktober 2009 bertepatan dengan Gereja Kudus merayakan Pesta Santo Simon dan Santo Yudas Tadeus Rasul telah diadakan Perayaan Ekaristi Penerimaan Uskup Agung Koajutor : Mgr. Ignatius Suharyo di Gereja Katedral.



Perayaan Ekaristi dihadiri oleh 23 Uskup dan Uskup Agung, antara lain dari Keuskupan Medan, Padang (Ketua KWI), Lampung, Bogor, Bandung, Purwokerto, Surabaya, Malang, Bali, Ketapang, Sangau, Sintang, Timika , Uskup Agung Jakarta Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ, Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Agung Tahta Suci (Duta besar Vatikan untuk Indonesia: Mgr. Leopolito, dan lain keuskupan lagi, sejumlah besar imam, biarawan-biarawati dan umat KAJ dan KAS.



Uskup Agung: biasa juga disebut metropolit. Ia bertugas menggembalakan suatu keuskupan agung sebagai uskupnya dan mengetuai suatu provinsi gerejawi. Di Indonesia ada sepuluh keuskupan agung.



Uskup Koajutor : Uskup Bantu yang mempunyai hak menggantikan Uskup Diosesan kalau Uskup Diosesan meletakkan jabatan atas alasan yang berbeda-beda (Kitab Hukum Kanonik 403, ay 3)

Uskup Koajutor berbeda dengan Uskup Auksilier. Uskup ini juga disebut uskup bantu , yang diangkat oleh Paus atas permintaan Uskup Diosesan karena kebutuhan-kebutuhan pastoral di keuskupan tersebut. Uskup Auksilier tidak mempunyai hak mengganti.



Profil singkat Uskup Agung Koajutor:



Mgr. Ignatius Suharyo dilahirkan di Sedayu, Yogyakarta pada tgl 9 Juli 1950. Ditahbiskan menjadi imam Keuskupan Agung Semarang: 26 Januari 1976; Ditahbiskan menjadi Uskup Agung KAS: 22 Agustus 1997; Ditunjuk menjadi Uskup Militer: 2 Jan 2006 dan Uskup Agung Koajutor KAJ: 25 Juli 2009.



Motto: “Serviens Domino Cum Omni Humilitate “(Act 20:19), yaitu: “Aku melayani Tuhan dengan segala rendah hati” (Kis 20:19).



Sumber: berbagai macam sumber dan the Catholic Way

DOA UNTUK PARA IMAM

DOA UNTUK PARA IMAM


Tuhan terkasih, Bapa Pengasih, aku berdoa kepadaMu;

Lindungilah para imam GerejaMu, sebab mereka itu milikMu.

Biarlah hidup mereka terbakar luluh di atas altarMu yang suci,

sebab mereka telah disucikan dan menyucikan diri bagiMu saja.

Lindungilah mereka sebab mereka berada di tengah dunia,

meskipun mereka bukan dari dunia ini.

Masukkanlah mereka dalam lubuk hatiMu,

bila nikmat duniawi menggoda dan memikat mereka.

Lindungilah dan hiburlah mereka dalam saat-saat sepi,

Susah derita dan bila pengorbanan hidupnya nampak sia-sia.

Ingatlah ya Tuhan tak seorangpun kecuali Engkau

yang menjadi pemiliknya yang sah

Dan walaupun mereka Kauberi pangilan ilahi,

tetapi tetaplah mereka memiliki hati insani,

dengan segala kerapuhannya.

Maka, Bapa terkasih, lindungilah mereka bagaikan biji mataMu,

dan peliharalah mereka bagaikan hosti tanpa noda.

Semoga setiap hari, pikiran dan perbuatannya

aman terjaga dan menjadi teladan indah bagi seluruh umatMu.

Tuhan terkasih, sudilah memberkati mereka senantiasa.

Terpujilah Engkau yang telah memanggil dan mengutus mereka;

terpujilah Engkau yang tetap mendampingi

dan memampukan mereka.

Ya Hati Kudus Imam Agung Yesus. kasihanilah mereka.

Ya Hati Tersuci Maria Ratu Para Imam, doanlah mereka.

Santo Yohanes Maria Viannev. doakanlah mereka.

Sumber: Panitia Tahun Imam KAJ

Kamis, 04 Februari 2010

PERAYAAN-PERAYAAN LITURGIS SELAMA PEKAN SUCI DAN TRIHARI PASKAH C.H. Suryanugraha, OSC Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia (ILSKI), Bandung

PRAWACANA

Sebelum memasuki masa Trihari Paskah (Triduum Paschale, TP) Gereja mengalami suatu masa tobat dan puasa yang disebut dengan Masa Prapaskah (Tempus Quadragesimae, TQ). Pada hari-hari terakhir Masa Prapaskah dan menjelang Trihari Paskah masih terdapat suatu masa yang cukup penting, yakni Pekan Suci (Hebdomada Sancta, HS). Pekan Suci diawali dengan Misa Pengenangan Sengsara Tuhan pada perayaan Minggu Palma atau Minggu Sengsara. Kamis Putih menjelang Misa Perjamuan [Malam] Tuhan sekaligus merupakan akhir Masa Prapaskah dan Pekan Suci. Selama Trihari Paskah Gereja merayakan misteri-misteri terbesar karya penebusan. Perayaan Trihari Paskah merupakan puncak Tahun Liturgi. Rangkaian Trihari Paskah itu dimulai dengan Misa Perjamuan Tuhan pada Kamis Putih sore dan berakhir dengan Ibadat Sore II Hari Minggu Paskah. Saat-saat itu Gereja mengenangkan peristiwa penyaliban (sengsara), pemakaman (wafat), dan kebangkitan Kristus. Ada satu garis ritual yang utuh: awal, puncak, dan penutup.

Tulisan ini hanya ingin menyampaikan kekayaan perayaan-perayaan liturgis Pekan Suci dan Trihari Paskah itu dalam cara yang amat sederhana. Ibaratnya seorang siswa atau mahasiswa yang membuat catatan ringkas hal-hal penting yang perlu diingatnya sebelum menghadapi ujian. Cara ini mungkin akan membantu, mudah dijadikan sebagai pegangan sebelum kita mempersiapkan liturgi-liturgi Pekan Suci dan Trihari Paskah yang biasanya amat menyita pikiran, tenaga, dan waktu kita. Maka dari itu setiap hari liturgis akan dijelaskan secara cukup rinci to the point, lengkap dengan hal-hal penting yang perlu diketahui. Pemaparan beranjak dari makna, ketentuan liturgis, susunan liturgi, bacaan-bacaan liturgis, hingga unsur-unsur khas masing-masing.

Sebuah bagan (lihat berikut ini) akan membantu kita untuk lebih dapat memahami tempat Pekan Suci dan Trihari Paskah (Hari Liturgis) dalam konteks penghitungan waktu profan, waktu sebagaimana kebanyakan orang memahaminya (Hari Umum). Masih banyak yang kurang tepat dalam menghitung. Hari-hari apa saja sesungguhnya yang termasuk dalam masa Pekan Suci dan Trihari Paskah? Kapan Pekan Suci dan Trihari Paskah itu dimulai dan diakhiri?

Jenis-jenis kegiatan umat, baik yang liturgis maupun paraliturgis, juga kami cantumkan (Kegiatan Liturgis/Paraliturgis). Tentu saja yang kami tampilkan adalah yang kurang lebih ideal, jenis-jenis kegiatan yang sebaiknya dilakukan pada hari-hari tertentu karena mengandung makna yang selaras, tidak rancu, dan menjaga alur perayaan selama beberapa hari liturgis yang istimewa itu. Yang ideal memang tidak atau belum selalu berarti yang dipraktikkan juga oleh umat atau Gereja di paroki-paroki selama Pekan Suci dan Trihari Paskah. Kegiatan-kegiatan liturgis selama Pekan Suci dan Trihari Paskah amat beragam dan kaya simbolisme. Tanpa mengecilkan arti keberadaan yang lain, kegiatan liturgis utama (nomer tebal: 1, 4, 5, 7, 10, 11) yang biasanya dibanjiri umat tentu amat perlu kita perhatikan secara khusus. Meskipun hanya menyebutkan dan tanpa menguraikan, kegiatan-kegiatan paraliturgis juga kami tampilkan, karena kegiatan-kegiatan semacam itu masih dikenal dan dirindukan umat. Terlebih, kegiatan paraliturgis tetap diharapkan membantu penghayatan umat akan perayaan liturgis, terutama spiritualitas yang terkandung di dalamnya.

Garis-garis terputus di bawah nama Hari Umum menandakan batas antara hari umum yang sebelum dengan yang berikutnya. Masa Trihari Paskah dibingkai dengan garis ganda. Di dalamnya, garis-garis terputus di bawah tulisan Hari Liturgis menandakan batas Hari Umum. Berarti juga bahwa kegiatan-kegiatan liturgis/paraliturgis dapat berlangsung selama masa transisi dari hari yang satu ke hari berikutnya.

Uraian dari hari ke hari selama Pekan Suci dan Trihari Paskah dapat diikuti dalam bagian-bagian berikut. Perayaan-perayaan liturgis Pekan Suci dan Trihari Paskah yang akan diutamakan karena memang hanya itulah cakupan tulisan ini.


A. MINGGU PALMA: MISA PENGENANGAN SENGSARA TUHAN

1. Makna:
a. Pekan Suci dimulai pada hari Minggu Prapaskah VI atau biasa disebut dengan Minggu Palma atau Minggu Sengsara, karena untuk mengenangkan sengsara Tuhan. Minggu Palma adalah pintu masuk Pekan Suci. Pada hari-hari selama Pekan Suci kita diajak mengenangkan satu peristiwa penebusan lewat sengsara, wafat, dan kebangkitan sekaligus. Setiap perayaan liturgis tetap mengandung unsur-unsur penebusan itu.
b. Perayaan Ekaristi diadakan sebagai pengenangan akan sengsara Tuhan, namun pewartaan sengsara Tuhan itu dikaitkan dengan perayaan kejayaan-Nya sebagai seorang Raja. Misa Pengenangan Sengsara Tuhan itu diawali dengan pengenangan akan peristiwa Kristus memasuki kota Yerusalem sebagai Almasih.
c. Bagi orang kristiani Masa Prapaskah harus menuju suatu perjalanan menuju Yerusalem, yakni menghadapi kematian dan kebangkitan Kristus. Masa Prapaskah ibarat suatu eksodus baru, meninggalkan tanah pembuangan menuju Yerusalem, menyongsong Paskah Kristus.

2. Ketentuan liturgis:
a. Misa sudah dapat diselenggarakan pada Sabtu sore.
b. Warna liturgi: merah.
c. Tempatnya di luar dan kemudian di dalam gedung gereja. Ritus perarakan meriah dilakukan di luar gedung dan Liturgi Sabda hingga Ritus Penutup di dalam gedung gereja. Untuk ritus perarakan sederhana dapat dilangsungkan dari bagian depan gedung gereja.
d. Perarakan dari luar gereja menurut cara I (Perarakan) diselenggarakan satu kali saja, terutama pada kesempatan yang dihadiri paling banyak umat.
e. Untuk cara II (Meriah) dapat dilaksanakan mulai dari pintu atau bagian depan gereja, lalu perarakan berlangsung di dalam gedung gereja.
f. Untuk cara III (Sederhana), karena tanpa perarakan, maka cukup diawali dengan nyanyian pembukaan dan dilanjutkan dengan Seruan Tobat, lalu Doa Pembuka Misa.
g. Untuk ritus perarakan Imam Selebran mengenakan korkap atau kasula warna merah. Jika mengenakan korkap, maka setelah perarakan-menjelang liturgi Sabda harus berganti, memakai kasula merah.
h. Secara historis daun palma, daun zaitun, daun lainnya, dan juga ranting-ranting dibawa umat dalam perarakan. Hingga kini jenis daun apa pun tidaklah dilarang untuk dibawa demi memeriahkan perarakan tersebut. Setelah Misa daun-daun itu dapat dibawa pulang dan disimpan di rumah masing-masing sebagai tanda kejayaan Kristus. Biasanya kemudian dipasang pada salib-salib Kristus di rumah.
i. Sebelum dibawa dalam perarakan, sebaiknya daun-daun itu dikumpulkan pada satu meja untuk diberkati. Setelah diberkati barulah dibagikan kepada umat yang hendak berarak mengikuti rombongan Imam.
j. Para pastur dan penanggung jawab liturgi harus berusaha sungguh-sungguh untuk menjamin agar perarakan itu dipersiapkan dan dilaksanakan sedemikian rupa sehingga dapat bermakna bagi hidup umat.
k. Jika terpaksa tidak dapat diselenggarakan Misa, maka dapatlah diadakan Ibadat Sabda saja, dengan tema “Yesus memasuki Yerusalem dan kesengsaraan-Nya”.

3. Susunan liturgi:
- Ritus Pembuka: Perarakan masuk, Tanda Salib-Salam, Pengantar, Pemberkatan Palma, Bait Pengantar Injil, Bacaan Injil, Homili Singkat, Perarakan Palma menuju gereja, Doa Pembuka di dalam gereja
- Liturgi Sabda: Bacaan I, Mazmur Tanggapan, Bacaan II, Bait Pengantar Injil, Pewartaan Injil, Homili, Syahadat (Credo), Doa Umat
- Liturgi Ekaristi
- Ritus Penutup
4. Bacaan:
1. Ritus Perarakan Palma:
Injil: Kisah Yesus masuk Yerusalem.
Tahun A: Matius 21:1-11; B: Markus 11:1-10 atau Yohanes 12:12-16; C: Lukas 19:28-40.
2. Misa - Liturgi Sabda:
a. Yesaya 50:4-7: Hamba Yahwe yang rela disiksa dan tabah.
b. Filipi 2:6-11: Yesus yang merendahkan diri dan dimuliakan Allah.
c. Injil: Kisah Sengsara Yesus Kristus Tuhan kita.
Tahun A: Matius 26:14-27:66 (panjang) atau 27:11-54 (singkat);
B: Markus 14:1-15:47 (panjang) atau 15:1-39 (singkat);
C: Lukas 22:14-23:56 (panjang) atau 23:1-49 (singkat).

5. Unsur khas:
a. Ritus Perarakan Palma menjadi Ritus Pembuka. Di dalamnya, sebelum perarakan dibacakan Injil yang mengisahkan peristiwa Yesus masuk Yerusalem. Sebelum pembacaan Injil ada pemberkatan daun-daun palma, baik dengan tanda salib maupun air suci.
b. Perarakan Yesus masuk Yerusalem dikenangkan dengan cara perarakan meriah dihiasi daun-daun palma yang dibawa oleh umat, mengikuti rombongan Imam dan para petugas liturgis lainnya.
c. Selama perarakan semua yang hadir menyanyikan lagu-lagu yang sesuai dengan tema, teristimewa dari Mazmur 23 dan 46, nyanyian khusus untuk menghormati Kristus sebagai Raja.
d. Pembawaan Kisah Sengsara harus diberi tempat istimewa dengan cara menyanyikannya atau membacakannya seturut cara tradisional, yakni oleh tiga orang (sebagai Kristus, Rakyat, Pencerita). Jika dinyanyikan peran Kristus sebaiknya dibawakan oleh Imam Selebran, diakon, atau petugas yang layak. Bila dibacakan, maka peran Kristus harus dibawakan oleh Imam.
e. Pembawaan Kisah Sengsara tanpa didampingi lilin dan dupa, juga tanpa tanda salib pada Buku Injil dan diri masing-masing.


B. SEBELUM TRIHARI PASKAH: MISA KRISMA

1. Makna:
Gereja partikular (keuskupan) berkumpul bersama untuk memberkati minyak yang akan digunakan di gereja-gereja paroki pada waktu pembaptisan di misa Malam Paskah. Misa ini merupakan tanda kesatuan Gereja keuskupan, di mana Uskup dan seluruh perangkat keuskupannya, tak ketinggalan umat beriman, berkumpul untuk menyiapkan minyak kudus yang akan diberikan kepada para baptisan-baru.

2. Ketentuan liturgis:
a. Dirayakan sebelum Misa Perjamuan Tuhan sore atau hari lain dalam Pekan Suci, sebelum Trihari Paskah.
b. Warna liturgi: putih, meskipun misa ini masih terhitung berlangsung pada Masa Prapaskah (ungu).
c. Tempatnya di gereja Katedral atau karena alasan pastoral boleh juga di tempat lain yang punya keistimewaan bagi keuskupan.

3. Susunan liturgi:
- Ritus Pembuka: Perarakan, Tanda Salib dan Salam, Kata Pengantar, Ritus Tobat, Madah Kemuliaan, Doa Pembuka
- Liturgi Sabda: Bacaan I, Mazmur Tanggapan, Bacaan II, Bait Pengantar Injil, Bacaan Injil, Homili.
- Pembaruan Janji Imamat
- Liturgi Pemberkatan Minyak: Perarakan, Pemberkatan bergantian: Minyak Pengurapan Orang sakit, Minyak Katekumen, Minyak Krisma.
- Liturgi Ekaristi
- Ritus Penutup

4. Bacaan:
a. Yesaya 61:1-3a.6a.8b-9: Tuhan telah mengurapiku dan mengutusku untuk mewartakan kabar gembira bagi kaum miskin.
b. Wahyu 1:5-8: Kristus mengangkat dari antara kita, raja dan imam bagi Bapa.
c. Lukas 4:16-21: Roh Tuhan di atas-Ku, Ia mengurapi Aku.

5. Unsur khas:
a. Uskup bersama para imam yang berkarya di keuskupannya berkumpul dan memperbarui janji imamat.
b. Pemberkatan minyak-minyak (katekumen, krisma, pengurapan orang sakit), khususnya minyak krisma yang akan dipakai untuk membaptis pada Misa Malam Paskah.
c. Misa Pontifikal: dalam Misa Agung yang dipimpin Uskup ini hendaknya seluruh peran liturgis yang ada dikerahkan untuk ikut ambil bagian di dalamnya, supaya citra seluruh keuskupan terlukiskan secara utuh.


C. KAMIS PUTIH: MISA PERJAMUAN TUHAN

1. Makna:
a. Hari Kamis Putih: Hari ini adalah hari terakhir masa Prapaskah. Suasana pertobatan masih berlaku di sini. Maka, Kamis Putih pagi hari masih boleh diadakan Sakramen Rekonsiliasi/Tobat/Pengakuan dosa, namun sebaiknya sakramen ini sudah tidak diadakan lagi selama Trihari Paskah, meskipun tidak dilarang. Misa Krisma sebaiknya diadakan pada Kamis Putih pagi, namun karena alasan pastoral dapat dipindah pada hari-hari sebelumnya.
b. Misa Perjamuan Tuhan: Gereja memulai Trihari Paskah dan memperingati perjamuan malam terakhir Tuhan (pendirian/institusi Sakramen Ekaristi). Saat itu Yesus mempersembahkan Tubuh dan Darah-Nya sendiri dalam rupa roti dan anggur yang diberikan-Nya kepada para murid-Nya (perintah cinta persaudaraan). Yesus juga memerintahkan mereka dan para penggantinya dalam imamat untuk melestarikan kurban itu (tugas sakramen imamat).

2. Ketentuan liturgis:
a. Misa dirayakan sore hari, sesuai dengan keadaan setempat agar seluruh umat dapat hadir sepenuhnya; namun jika amat mendesak Uskup setempat dapat mengijinkan diadakan pada pagi hari bagi umat yang memang sungguh tidak mungkin hadir pada sore hari.
b. Tidak diadakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, dan tidak merugikan Misa utama, juga tidak boleh mengadakan Misa ini tanpa kehadiran umat.
c. Warna liturgi: putih, kuning, atau emas.
d. Sebelum Misa, jika ada tabernakel di tempat yang akan dipakai untuk Misa, tabernakel itu harus sudah dikosongkan.
e. Hosti-hosti baru disediakan untuk diberkati dan disantap pada Misa itu, juga untuk komuni pada Ibadat Jumat Agung esoknya.
f. Sakramen Mahakudus disimpan dalam tabernakel atau piksis atau sibori, janganlah sekali-kali dalam monstrans.
g. Tempat menyimpan Sakramen Mahakudus itu haruslah dihiasi secara sederhana (tidak berlebihan) untuk keperluan adorasi dan meditasi; namun jangan berupa kubur/makam, karena tempat itu semata-mata hanya untuk “menyimpan” Sakramen Mahakudus, bukan untuk “mengenangkan” pemakaman Tuhan.
h. Seusai Misa dilanjutkan dengan adorasi kepada Sakramen Mahakudus tadi, namun setelah jam 24.00 jangan ada lagi kemeriahan lahiriah dalam beradorasi kepada Sakramen Mahakudus, karena hari kesengsaraan Tuhan sudah dimulai.
i. Pemindahan Sakramen Mahakudus tidak perlu diadakan jika Ibadat Pengenangan Sengsara Tuhan (Jumat Agung) tidak akan diadakan di tempat yang sama.
j. Setelah Misa hendaknya setiap salib di dalam gereja diselubungi kain merah atau ungu, kecuali bila sudah diselubungi sebelumnya (sejak awal Masa Prapaskah/Rabu Abu atau sejak hari Sabtu sebelum Minggu Prapaskah V); di depan patung-patung orang kudus juga tidak boleh dinyalakan lampu.

3. Susunan liturgi:
- Ritus Pembuka: (seperti biasa: Perarakan, Tanda Salib-Salam, Pengantar, Ritus Tobat, Kemuliaan, Doa Pembuka)
- Liturgi Sabda: Bacaan I, Mazmur Tanggapan, Bacaan II, Bait pengantar Injil, Pewartaan Injil, Homili, Ritus Pembasuhan kaki, Doa Umat
- Liturgi Ekaristi (biasa)
- Perarakan Sakramen Mahakudus
- Adorasi dan meditasi di hadapan Sakramen Mahakudus

4. Bacaan:
a. Keluaran 12:1-8, 11-14: Paskah orang-orang Yahudi.
b. 1 Korintus 11:23-26: Pewartaan kematian Tuhan lewat makan roti dan minum dari piala.
c. Yohanes 13:1-15: Perintah untuk saling mencintai dan melayani.

5. Unsur khas:
a. Selama dinyanyikan “Kemuliaan” lonceng gereja boleh dibunyikan sejauh tidak mengganggu keindahan lagu itu sendiri (setelahnya lonceng baru akan dibunyikan lagi pada Malam Paskah).
b. Sesudah homili ada ritus pembasuhan kaki keduabelas wakil umat (biasa disebut ritus Mandatum), simbol pelayanan dan cinta kasih Yesus Kristus. Tradisi ini harus dipertahankan dan diterangkan maknanya kepada umat.
c. Kolekte, derma-derma untuk orang miskin, atau hasil APP (Aksi Puasa Pembangunan) dapat diantar ke altar pada saat persiapan persembahan, mengiringi persembahan roti dan anggur.
d. Setelah Doa Sesudah Komuni diadakan pemindahan hosti-hosti (Sakramen Mahakudus) dalam sibori (bukan monstrans!) yang dibawa oleh Imam. Perarakan Sakramen Mahakudus ini diiringi lagu (misalnya: Tantum Ergo) dan diselingi penyembahan-penyembahan (berlutut) oleh umat yang ditandai bunyi (klothokan) kayu (bukan suara logam, mis: lonceng).
e. Tidak ada berkat dan pengutusan, lalu Imam dibantu para petugas menanggalkan kain-kain altar dan semua rangkaian bunga di panti imam.
f. Umat dianjurkan untuk bersembah sujud, berdoa, dan merenung (Injil Yohanes 13-17) di depan Sakramen Mahakudus, baik secara pribadi maupun dalam kelompok, entah secara bersama atau bergantian.


D. JUMAT AGUNG: PERAYAAN PENGENANGAN SENGSARA TUHAN

1. Makna:
a. Hari Jumat Agung: Hari ini ditetapkan sebagai hari laku tapa dan tobat dengan kewajiban berpantang dan berpuasa bagi seluruh anggota Gereja. Hari ini disebut sebagai hari puasa Paskah karena sudah termasuk dalam rangkaian Trihari Paskah; dibedakan dengan hari-hari puasa Prapaskah (40 hari). Sudah dimulai sejak Kamis malam, hingga menjelang Sabtu Malam Paskah. saat itu Sang Pengantin Pria sudah meninggalkan Gereja, maka kita pun berpuasa.
b. Perayaaan atau Ibadat Pengenangan Sengsara Tuhan: Gereja merenungkan kesengsaraan Kristus, menghormati salib, merenungkan asal-usulnya, yakni dari lambung Kristus yang tergantung di kayu salib, serta mendoakan keselamatan seluruh dunia.

2. Ketentuan liturgis:
a. Tidak ada perayaan Ekaristi, namun komuni kudus dibagikan kepada umat hanya dalam Ibadat Pengenangan Sengsara Tuhan (kecuali untuk orang-orang sakit/viatikum).
b. Perayaan dimulai pada jam 15.00, atau karena alasan pastoral boleh juga tidak lama setelah jam 12.00. Jangan sesudah jam 21.00.
c. Tatacara dan urutan Ibadat (Liturgi Sabda, Ritus Penghormatan Salib, Ritus Komuni) harus ditaati dengan setia dan tertib.
d. Warna liturgi: merah.
e. Semua bacaan (Pertama dan Kedua) harus dibacakan. Mazmur Tanggapan dan Bait Pengantar Injil dinyanyikan. Pewartaan Injil tentang Kisah Sengsara (Yohanes) dinyanyikan atau dibacakan oleh (para) diakon atau petugas yang layak. Sesudahnya Imam Selebran memberi homili, lalu hening sejenak.
f. Dilarang merayakan sakramen apa pun pada hari ini, kecuali sakramen rekonsiliasi dan pengurapan orang sakit. Upacara pemakaman pun harus dilaksanakan tanpa nyanyian, musik, atau bunyi lonceng.
g. Sangat dianjurkan agar umat diajak ikut merayakan Ibadat Bacaan dan Ibadat Pagi di gereja.
h. Hanya satu salib boleh dipergunakan untuk penghormatan itu, agar salib itu sungguh-sungguh mendukung simbolisasi ritualnya. Penghormatan pribadi dapat dilakukan secara bersama-sama.
i. Setelah Ibadat selesai altar dikosongkan kembali. Salib yang dihormati tadi tetap di tempatnya dengan didampingi empat lilin. Boleh juga dipindahkan ke tempat khusus di dalam gereja yang dihiasi, agar umat dapat kembali menghormati dan berdoa/meditasi secara pribadi di hadapan salib itu.
j. Bentuk-bentuk devosi yang berkaitan dengan kesengsaraan Yesus dapat diadakan untuk mengisi waktu-waktu hening hingga Sabtu Suci siang. Misalnya: Ibadat Jalan salib, perarakan Salib (drama penyaliban), devosi tujuh sabda Yesus di salib, dsb. Devosi-devosi itu janganlah bertentangan dengan suasana liturgis masa itu. Devosi dimaksudkan untuk mengantar kepada kepenuhan liturgi.

3. Susunan liturgi:
- Ritus Pembuka: Perarakan hening, Penghormatan Altar, Doa
- Liturgi Sabda: Bacaan I, Mazmur Tanggapan, Bacaan II, Bait Pengantar Injil, Pewartaan Injil: Kisah Sengsara, Doa Umat Meriah
- Ritus Penghormatan Salib Suci
- Ritus Komuni: Bapa Kami, Pemecahan Roti, Pembagian Komuni, Doa Sesudah Komuni
- Ritus Penutup: Berkat (Doa atas Umat), Perarakan hening

4. Bacaan:
a. Yesaya 52:13-53:12: Hamba yang disiksa karena dosa-dosa kita.
b. Ibrani 4:14-16; 5:7-9: Ketaatan Yesus demi keselamatan kita.
c. Yohanes 18:1-19:42: Kisah sengsara Tuhan.

5. Unsur khas:
a. Imam dan para petugas berarak memasuki ruang Ibadat tanpa iringan, tanpa nyanyian. Lalu mereka menghormati altar dengan cara merebahkan diri di depannya (simbol pernyataan kefanaan manusia).
b. Pewartaan (proklamasi) Injil tentang Kisah Sengsara Tuhan hendaknya dibawakan dengan cara sesuai dengan hakikatnya (liturgis), yakni Yesus sendiri yang bersabda. Bukanlah suatu tafsiran dramatik kisah sengsara itu (kateketis), yang tidak menyimbolkan “Allah bersabda”. Jika dibawakan oleh para diakon atau awam, mereka meminta berkat dulu kepada Imam Selebran sebelum membawakan Kisah Sengsara.
c. Doa Umat Meriah dibawakan secara khusus, baik secara kuantitatif (ada 10 ujud panjang) maupun kualitatif (dibacakan dan dinyanyikan). Ujud-ujud doa itu adalah untuk Gereja, Paus, para klerus dan awam, para calon baptis, kesatuan umat kristiani, bangsa Yahudi, mereka yang tidak percaya akan Kristus, yang tidak percaya akan Allah, semua pegawai umum, dan untuk mereka yang berkekurangan. Jika dirasa perlu, uskup dapat mengijinkan untuk menambahkan ujud khusus yang menyangkut kepentingan umat.
d. Penghormatan Salib Suci merupakan puncak liturgi hari ini. Perayaan dipimpin oleh Imam Selebran dengan tiga seruan: “Lihatlah kayu salib….” dan membuka selubung satu per satu (dari tiga tali ikatan). Penghormatan dilaksanakan juga secara pribadi oleh umat, setelah Imam dan para petugas melakukannya. Dapat satu per satu atau serentak bersamaan jika banyak umat hadir (jadi, tidak harus memperbanyak jumlah salib untuk dihormati!). Selama ritus ini lagu-lagu bertema kesengsaraan dapat dinyanyikan.
e. Ritus Komuni diawali dengan mempersiapkan altar dan meletakkan sibori-sibori berisi Tubuh Kristus dan diakhiri dengan Doa yang dilanjutkan dengan doa untuk umat (Ritus Penutup).
f. Ritus Penutup: Imam menutup perayaan ini dengan mengulurkan kedua tangannya ke atas jemaat (= Berkat, tapi bukan dengan tanda salib besar). Lalu dilanjutkan dengan perarakan keluar dalam keheningan atau membiarkan tetap dalam suasana “merenung dan berdoa”, berjaga-jaga lagi hingga malam!


E. SABTU SUCI: SAAT ISTIRAHAT, TENANG, DAMAI

1. Makna:
Dengan berdoa dan berpuasa, seraya menantikan kebangkitan Kristus, Gereja seakan berada di makam-Nya, sedang merenungkan kesengsaraan dan wafat serta turunnya Kristus ke alam maut. Hari kedua dalam Trihari Paskah ini melambangkan juga saat istirahat Allah (sabat), maka sebaiknya suasana tenang dan damai justru mewarnai hari ini.

2. Ketentuan liturgis:
a. Dilarang mengadakan Perayaan Ekaristi.
b. Komuni kudus hanya diberikan untuk bekal suci (viatikum).
c. Dilarang merayakan Sakramen Perkawinan maupun Sakramen-sakramen lainnya, kecuali Sakramen Rekonsiliasi/Tobat dan Pengurapan Orang Sakit.
d. Umat diharuskan mengadakan upacara sabda atau devosi yang sesuai dengan misteri yang dirayakan pada hari ini (Kristus wafat!). Sangat dianjurkan untuk mengadakan (ofisi) Ibadat Bacaan dan Ibadat Pagi bersama umat di gereja paroki.


F. MINGGU PASKAH: MISA MALAM PASKAH DAN MISA KEBANGKITAN KRISTUS

I. MISA MALAM PASKAH

1. Makna:
Malam ini Gereja berjaga dalam doa (Latin:vigili, Jawa: tuguran, tirakat) dengan merayakan suatu liturgi agung untuk mengenangkan saat-saat Tuhan bangkit dari kematian. Gereja sesungguhnya sedang menantikan kedatangan Tuhan kembali. Inilah “bunda dari segala malam tirakat (vigili)”. Suatu malam pembebasan, seperti ketika bangsa Israel tetap berjaga-jaga menantikan Tuhan yang akan lewat dan membebaskan mereka dari penindasan bangsa Mesir. Malam Tuhan lewat (pesach) yang dikenangkan bangsa Israel setiap Tahun itu melambangkan saat kebangkitan Kristus (Paskah), malam pembebasan sejati, saat Kristus bangkit sebagai pemenang atas maut. Gereja juga memperingatinya setiap tahun.

2. Ketentuan liturgis:
a. Perayaan berlangsung pada malam hari. Tidak boleh sebelum matahari terbenam dan harus selesai sebelum fajar Hari Minggu.
b. Warna liturgi: putih atau kuning emas.
c. Tata cara perayaan liturgis Malam Paskah tidak boleh diubah oleh siapa pun atas inisiatif sendiri (lihat no. 3. Susunan liturgi).
d. Nyanyian-nyanyian Mazmur Tanggapan jangan diganti dengan lagu-lagu lain, apalagi lagu yang tidak berkaitan dengan Bacaan sebelumnya.

3. Susunan liturgi:
- Ritus Cahaya (Lucernarium): Tanda Salib dan Salam, Kata Pengantar, Pemberkatan Api Baru, Pemberkatan Lilin Paskah, Perarakan Lilin Paskah, Madah Pujian Paskah (Exultet).
- Liturgi Sabda: Bacaan I, Mazmur Tanggapan, Doa 1 - Bacaan II, Mazmur Tanggapan, Doa 2 - Bacaan III, Mazmur Tanggapan, Doa 3 - Bacaan IV, Mazmur Tanggapan, Doa 4 - Bacaan V, Mazmur Tangggapan, Doa 5 - Bacaan VI, Mazmur Tanggapan, Doa 6 - Bacaan VII, Mazmur Tanggapan, Doa 7 - Madah Kemuliaan, Doa Pembuka - Bacaan Epistula, Alleluia Agung, Mazmur Tanggapan - Bacaaan Injil, Alleluia - Homili.
- Liturgi Baptis: Litani Orang Kudus, Pemberkatan Air Baptis, Pembaruan Janji Baptis (: Penolakan Setan dan Pengakuan Iman), [Percikan: jika tidak ada calon baptis maka jemaat direciki dengan air baptis tadi], Pembaptisan, Pengenaan Pakaian Putih, Penyalaan Lilin Baptis, Perayaan Krisma.
- Liturgi Ekaristi
- Ritus Penutup

4. Bacaan:
a. Kejadian 1:1-2:2: Kisah penciptaan.
b. Kejadian 22:1-18: Iskak dikorbankan.
c. Keluaran 14:15-15:1: Penyeberangan Laut Merah.
d. Yesaya 54:5-14: Yerusalem baru.
e. Yesaya 55:1-11: Perjanjian abadi.
f. Barukh 3:9-15, 32-4:4: Kebijaksanaan telah datang di bumi.
g. Yehezkiel 36:16-17a,18-28: Hati yang baru.
h. Surat Paulus: Roma 6:3-11: Kristus telah bangkit dan akan hidup abadi.
i. Injil: Kristus bangkit.
Tahun A: Matius 28:1-10; B: Markus 16:1-8; C: Lukas 24:1-12

5. Unsur khas:
a. Pemberkatan api baru dan Lilin Paskah dapat dilakukan di luar atau di dalam gedung gereja. Sebaiknya terpisah dari gedung gereja. Sementara, suasana sekitar adalah gelap, demikian juga di dalam gedung gereja tempat perayaaan selanjutnya akan berlangsung. Sebelum dinyalakan Lilin Paskah diberkati oleh Imam Selebran dengan beberapa peneraan simbol padanya: Kristus, Awal dan Akhir (A/Alpha – /Omega; Milik-Nyalah segala masa… (Tahun); luka-luka kudus-Nya (lima biji paku dupa). Baru kemudian dinyalakan dari api baru: “Semoga cahaya Kristus yang bangkit mulia menghalaukan kegelapan hati dan budi kita.” Akhirnya, diakon atau imam selebran sendiri membawa Lilin itu dalam perarakan. Ia melagukan “Cahaya Kristus/Kristus cahaya dunia”. Umat menjawab “Syukur kepada Allah. Lalu ia berjalan ke dalam gedung gereja, dan berhenti di tengah, lalu melagukan lagi “Cahaya Kristus”. Lilin-lilin para putera altar dan petugas liturgi lainnya dinyalakan dari api Lilin Paskah. Kemudian ia berjalan lagi ke depan altar dan melagukan lagi “Cahaya Kristus”. Barulah semua lilin umat dinyalakan lewat lilin-lilin para petugas tadi. Lampu-lampu gereja dapat mulai dinyalakan. Setelah itu Lilin Paskah ditempatkan pada tempatnya dan didupai. Lilin Paskah yang memimpin perarakan itu melambangkan tiap api yang memimpin bangsa Israel ketika berjalan di waktu malam di padang gurun, setelah keluar dari tanah Mesir. Kita pun mengikuti Kristus (Lilin Paskah) yang telah bangkit itu.
b. Madah Pujian Paskah dinyanyikan oleh diakon, Imam, atau jika mereka tidak bisa menyanyi boleh diganti oleh seorang awam yang bisa menyanyi dengan baik dan indah. Madah ini mau mengungkapkan seluruh Misteri Paskah dalam konteks sejarah keselamatan.
c. Jumlah semua bacaan yang harus dibacakan adalah 9 (sembilan). Namun jika ada alasan pastoral, tidaklah harus semuanya dibacakan. Minimal 3 (tiga) bacaan dari KS Perjanjian Lama (tak boleh dihilangkan: dari Kitab Taurat, Para Nabi, dan Keluaran 14) dan 2 (dua) bacaan dari KS Perjanjian Baru (Epistula dan Injil). Bacaan-bacaan itu melukiskan sejumlah karya yang mengagumkan dalam sejarah keselamatan. Misteri Paskah Kristus dipaparkan mulai dari Musa, para Nabi, hingga Kristus sendiri dan kesaksian para rasul-Nya. Diharapkan dengan mendengarkan, jemaat dapat merenungkan semua itu dan ikut menanggapinya lewat nyanyian-nyanyian Mazmur Tanggapan, saat-saat hening dan doa-doa Imam.
d. Madah Kemuliaan dan Doa Pembuka diadakan setelah Bacaan-bacaan dari KS Perjanjian Lama. Lonceng-lonceng gereja boleh dinyanyikan selama Madah Kemuliaan, asal tidak mengganggu keindahan nyanyian itu sendiri (tergantung kebiasaan setempat).
e. Alleluia Agung dinyanyikan 3 (tiga) kali oleh Imam. Biasanya setiap Alleluia mendapat nada berbeda dan menaik. Setiap kali umat mengikutinya.
f. Pemberkatan Air Baptis dapat dilakukan Imam Selebran dengan cara mencelupkan Lilin Paskah ke dalam bejana baptis itu, atau hanya dengan menyentuh air dengan tangan kanan, masing-masing diiiring doa.
g. Pada waktu Pembaruan Janji Baptis, jemaat kembali menyalakan lilin-lilin mereka dari api Lilin Paskah. Lilin-lilin itu dimatikan lagi setelah Percikan, atau setelah Pengakuan Iman, jika ada yang akan dibaptis pada malam itu.
h. Pembaptisan dapat dilakukan di depan altar atau di tempat bejana. Para calon baptis didampingi emban baptisnya. Emban baptislah yang akan mengenakan pakaian/kain putih dan lilin baptis kepada baptisan baru (neofit) yang diberikan oleh Imam.
i. Perayaan Sakramen Krisma idealnya langsung diberikan untuk baptisan dewasa. Kalau demikian, maka si baptisan-baru akan mengalami Sakramen Inisiasi yang lengkap, karena setelah ini akan untuk pertama kalinya mengambil bagian secara penuh dalam Liturgi Ekaristi sebagai anggota Gereja yang baru.
j. Berkat meriah dengan “Alleluia” panjang.


II. MISA KEBANGKITAN KRISTUS

1. Makna:
Gereja merayakan kebangkitan Kristus dengan penuh sukacita. Dalam Minggu Agung (St. Atanasius) ini diadakan misa-misa pertama yang mengawali Masa Paskah. Hari ini sudah dihitung sebagai Hari Minggu Paskah I, awal Masa Paskah yang akan berakhir pada Hari Raya Pentakosta, 50 hari kemudian. Namun demikian, masa Trihari Paskah sendiri baru berakhir setelah Ibadat Sore II hari Mingggu itu.

2. Ketentuan liturgis:
a. Misa Hari Raya Paskah harus dirayakan semeriah mungkin.
b. Warna liturgi: putih atau kuning emas.
c. Sebaiknya Ritus Tobat diisi dengan Percikan air baptis yang baru saja diberkati pada Misa Malam Paskah. Pernyataaan Tobat (“Saya Mengaku” atau “Tuhan kasihanilah”) diganti Percikan itu.
d. Tempat air suci di pintu-pintu gereja pun sebaiknya diisi dengan air yang diberkati pada Misa Malam Paskah.
e. Lilin Paskah sudah diletakkan di dekat altar atau mimbar. Tidak perlu diarak lagi seperti pada Ritus Cahaya pada Misa Malam Paskah. Selama Masa Paskah Lilin Paskah diletakkan di sana. Setelahnya disimpan di tempat pembaptisan (baptisterium, jika ada) atau di tempat lain yang aman, guna keperluan pembaptisan dan upacara pemakaman mendatang.

3. Susunan liturgi:
- Ritus Pembuka: Tanda Salib dan Salam, Kata Pengantar, Percikan (Vidi aquam), Madah Kemuliaan, Doa Pembuka.
- Liturgi Sabda: Bacaan I, Mazmur Tanggapan - Bacaan II, Sekuens Paskah (Victimae paschali) - Bait Pengantar Injil (Alleluia), Bacaan Injil, Alleluia - Homili - [Pembaruan Janji Baptis: jika di sini maka Percikan pun tidak di bagian Ritus Pembuka tetapi setelah Pembaruan Janji ini] Pengakuan Iman (Credo) - Doa Umat.
- Liturgi Ekaristi
- Ritus Penutup

4. Bacaan:
a. Kisah Rasul 10:34a.37-43: Makan dan minum bersama Yesus yang bangkit.
b. Kolose 3:1-4: Usaha selalu ke arah hidup Kristus.
c. Yohanes 20:1-9: Yesus harus bangkit dari alam maut.

5. Unsur khas:
a. Percikan dengan air baptis yang diberkati pada Malam Paskah dapat dilakukan dalam [1] Ritus Pembuka atau [2] sebagai penutup ritus Pembaruan Janji Baptis (setelah Homili). Yang pertama lebih dianjurkan daripada yang kedua.
b. Sebagai Hari Minggu yang amat istimewa, maka hendaknya liturgi hari ini sungguh-sungguh dipersiapkan (petugas, musik, doa, dekorasi, dsb) dan dijadikan acuan bagi hari-hari Minggu yang lainnya.
c. Berkat meriah dengan “Alleluia” panjang.


Bagi yang berminat untuk mendalami lebih jauh seluk-beluk perayaan liturgis Pekan Suci dan Trihari Paskah kami anjurkan menimba sendiri dari beberapa buku berikut ini, yang juga telah kami acu untuk tulisan ini.

1. CONGREGATIO PRO CULTO DIVINO. Missale Romanum. Vatican: Typis Polyglottis Vaticanis, 1970.
2. ___________. Circular Letter Concerning the Preparation of the Easter Feasts. Roma, 16 Januari 1988.
3. GANTOY, Robert dan SWAELES, Romain (eds). Days of the Lord: The Liturgical Year. Volume 2: Lent. Collegeville, MN: The Liturgical Press, 1993.
4. ___________. Days of the Lord: The Liturgical Year. Volume 3: Easter Triduum-Easter Season. Collegeville, MN: The Liturgical Press, 1993.
5. HUCK, Gabe. The Three Days: Parish Prayer in the Paschal Triduum. Chicago: Liturgy Training Publications, 1992.
6. KOMLIT KWI. Bina Liturgia 2E: Pedoman Tahun Liturgi dan Penanggalan Liturgi. Jakarta: PD Penerbit Obor, 1988.
7. KOMLIT REGIO JAWA-BALI-LAMPUNG. Pedoman Lingkaran Paskah. Keuskupan Malang, 1999.
8. NOCENT, Adrian. The Liturgical Year II: Lent and Holy Week. Collegeville, MN: The Liturgical Press, 1977.
9. ___________. The Liturgical Year III: The Paschal Triduum, The Easter Season. Collegeville, MN: The Liturgical Press, 1977.