Antara sabda dan kata-kata
Liturgi adalah suatu kegiatan doa bersama dari Gereja. Doa liturgis sebagai doa resmi Gereja adalah salah satu ungkapan yang paling khas, di mana iman Gereja dapat dinyatakan secara sungguh otentik (Edward Schillebeeckx). Dalam liturgi sebagai doa, Gereja menjalin komunikasi dengan Allah, dengan pengantaraan Kristus, Putera-Nya. Kristus adalah Sang Sabda yang menghubungkan umat dengan Allah, Sabda Allah sendiri yang menyapa manusia. Gereja mengimani Kristus, Sabda Allah yang menjadi manusia, dan mengungkapkan imannya itu dalam perayaan kudus yang dipimpin oleh Kristus sendiri. Kehadiran Kristus dalam perayaan liturgis dilambangkan dalam suatu pewartaan Sabda, pembacaan Kitab Suci. Dalam Misa, peristiwa Sabda yang menyapa umat itu diberi tempat secara khusus dalam Liturgi Sabda. Selain itu, tanda kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi juga dinyatakan dalam pribadi imam selebran, roti dan anggur, dan umat yang berkumpul. Dalam tulisan-tulisannya mengenai liturgi sakramen Agustinus memaknai “sabda” dalam tiga arti: Yesus sendiri, Kitab Suci yang diwartakan, dan formula (rumusan doa) sakramental. Arti pertama dan kedua sudah disinggung. Arti ketiga juga penting, bahwa formula sakramental merupakan “sabda” yang menguduskan dan menyelamatkan. Maka, perayaan liturgis sendiri secara simbolis merupakan suatu “peristiwa sabda”, saat Allah berbicara. Namun, lebih daripada itu, Allah dan umat beriman pun saling berkomunikasi dan berdialog. Liturgi tak terjadi searah, melainkan selalu timbal balik. Sebagai peristiwa yang berdimensi ilahi-manusiawi perlulah liturgi itu diungkapkan secara nyata. Cara komunikasi manusiawi dimanfaatkan untuk memenuhi maksud simbolisnya. Allah sendiri telah menggunakan bahasa manusia agar diri-Nya dikenal dan dipahami manusia. Bahasa adalah medium komunikasi diri yang meliputi aneka pengertian: yang simbolis atau yang lugas, yang gestural (gerak, sikap tubuh) atau yang verbal (teks, doa, bacaan, dsb). Allah sendiri juga berbahasa simbolis melalui unsur-unsur yang diambil dari kehidupan manusia (orang, benda, kata, tindakan). Sementara umat tidak bisa tidak harus juga menggunakan kemampuan yang dimilikinya atau memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya. Salah satunya adalah “kata-kata” atau ungkapan verbal yang dijadikan sarana komunikasi antara umat beriman dengan Allahnya. Ada dua cara pengungkapan “kata-kata”, yakni secara lisan dan tulisan. Jadi, di dalam Misa pun akan selalu kita temui peran “kata-kata” yang amat penting itu. Ada “kata-kata” yang dinyatakan secara lisan tanpa teks acuan yang tertulis, dan ada pula “kata-kata” yang dirumuskan dalam bentuk tulisan. Bagaimana “kata-kata” itu ditata dan berperan dalam Misa? Hal inilah yang akan kita simak satu per satu melalui uraian berikut ini.
Sabda dan kata-kata sebagai teks liturgis
Sabda (Word) adalah sesuatu yang abstrak. Ia baru ditangkap ketika tertuang dalam tulisan atau diungkapkan dalam kata-kata (words). Sabda Allah tertulis dalam Kitab Suci, maka Kitab Suci disbeut juga Sabda atau Firman Allah. Jika hanya dituliskan dan dibiarkan sebagai tulisan, tanpa dibaca atau diwartakan maka Sabda itu tidak berbicara, tidak bergema, tidak berdaya guna. Dalam perayaan liturgis, Sabda Allah itu dibuat berbicara, supaya berdaya guna bagi yang mendengarkannya, supaya juga ditanggapi oleh yang mendengarkannya. Ketika Kitab Suci dibacakan dalam liturgi maka Allah sendirilah yang sedang bersabda kepada umat-Nya (PUMR 29). Maka, “kata-kata” pun menjadi Sabda yang bisa didengar, dicerna, berguna bagi kehidupan dan keselamatan. Sabda seolah mengerdil dalam kata-kata atau tulisan, namun bisa kembali meraksasa jangkauannya bila tulisan dari Sabda itu diperlakukan semestinya: dihidupkan (lewat dibaca atau dibawakan) dalam liturgi! Dampak dari “tulisan” tentang Sabda bisa ke mana-mana, tak terduga. Tapi, bisa juga tak berdampak apa-apa bagi yang tuli telinga dan hatinya…. Seluk beluk tentang kata ini kemudian harus diamati dalam suatu bidang yang disebut “teks liturgis”. Teks liturgis adalah kata-kata yang digunakan dalam perayaan liturgi. Sabda dan kata-kata yang digunakan dalam liturgi dikelola di bidang itu, agar sungguh mampu berdaya guna bagi setiap peraya liturgi.
Teks dalam buku liturgis resmi
Sebagai kegiatan doa yang dilakukan secara bersama, liturgi memerlukan teks yang pasti dan berlaku untuk setiap peraya selama perayaan. Teks liturgis turut menjamin keberadaan dan keberlangsungan perayaan liturgi itu sendiri. Tidak ada liturgi tanpa teks liturgis. Sebagai doa resmi Gereja, maka teks liturgis pun juga harus resmi. Artinya, teks itu diterbitkan atau disahkan oleh Gereja, dalam hal ini oleh Takhta Suci Vatikan. Teks-teks yang sudah disahkan itu diwujudkan dalam suatu buku liturgis resmi (Latin: libri liturgici, Inggris: liturgical books). Ada perbedaan antara “buku liturgis” dengan “buku liturgi”. Yang satu dengan “s”, yang lainnya tanpa. Beda tipis dalam penulisan, namun makna dan fungsinya berlainan, meskipun keduanya komplementer, bisa saling melengkapi. Dapat dikatakan bahwa “buku liturgi” adalah buku, tulisan, atau bahasan tentang liturgi, termasuk wilayah keilmuan, “teologi kedua” (theologia secunda). Sedangkan “buku liturgis” adalah buku atau teks yang digunakan dalam praktik perayaan liturgi, bagian dari “teologi pertama” (theologia prima). Ada buku liturgis yang memiliki nilai simbolis khusus, yakni Evangeliarium sebagai simbol Kristus sendiri.
Buku liturgis untuk Misa: teks bacaan, teks doa
Sumber-sumber tekstual telah digunakan berabad-abad dalam perayaan liturgi. Kita coba bedakan dalam dua jenis utama: teks bacaan dan teks doa.
[1] Teks bacaan atau teks skriptural bersumber dari Kitab Suci resmi Gereja Katolik. Teks-teks itu dikelompokkan menjadi buku-buku liturgis yang dinamai Buku Bacaan Misa (Leksionarium), Kitab Injil (Evangeliarium), dan Mazmur Tanggapan (Responsorium, Graduale).
[2] Teks doa atau teks eukologis (Yunani: euche = doa, dan logos = ilmu) bersumber dari karya-karya para Bapa Gereja (Patristik) atau Magisterium Gereja. Teks-teks eukologis itu dikelompokkan dalam buku liturgis; di antaranya adalah Buku Doa-doa Misa (Sakramentarium), Tata Perayaan Ekaristi (Misale), dan buku untuk perayaan-perayaan khusus (Rituale dan Pontifikale). Ada juga beberapa penulis yang memasukkan bacaan Kitab Suci dan nyanyian biblis ke dalam eukologi. Eukologi termasuk dalam studi tentang teks-teks doa liturgis pada umumnya. Suatu studi tentang hukum-hukum yang mengatur formulasi dan isi doa-doa liturgis dalam buku-buku ritual. Misalnya: [a] prefasi, doa syukur agung, berkat meriah (mis. atas air untuk baptis), dan doa konsekrasi (mis. atas krisma, tahbisan); [b] doa-doa presidensial (mis. doa pembuka misa, doa persiapan persembahan, doa sesudah komuni, doa untuk jemaat, doa mazmur). Teks eukologis pada dasarnya adalah puitik, metaforik, atau penuh-imaji. Makna doa-doa itu tidak eksak, tapi lebih menawarkan percikan atau malah kiasan.
Jenis teks liturgis lainnya
Dua jenis utama yang telah disebut di atas (teks bacaan dan teks doa) dapat ditambahi lagi dengan beberapa jenis lain. Kita sebut saja satu per satu.
[1] Rubrik: teks pada buku liturgis yang menjelaskan tata laksana perayaan: siapa yang bertugas, apa yang harus disiapkan/digunakan, bagaimana melaksanakannya, dsb. Kata “rubrik” diturunkan dari kata Latin ruber, artinya merah. Dalam buku liturgis resmi biasanya teks itu dicetak dengan huruf merah (ruber), maka teks semacam itu disebut rubrik. Rubrik tidak perlu dibacakan selama perayaan, cukup diketahui oleh petugas atau umat yang harus berpartisipasi aktif.
[2] Ajakan: teks yang dibawakan oleh imam atau petugas lain ini biasanya mendahului doa atau tindakan yang meminta keterlibatan jemaat. Misalnya: “Marilah kita berdoa…; Berdoalah saudara-saudari…; Marilah kita saling menyampaikan…”; dsb. Sifatnya memang mengajak, maka perlu disampaikan dengan ramah dan bersimpati. Demi komunikasi yang hidup, sebaiknya teks semacam ini dibawakan secara spontan, sudah hafal, pandangan petugas tak perlu terpaku pada teks lagi. Jika dilakukan oleh Imam Selebran, ia membawakannya dengan gerak tangan membuka.
[3] Salam: teks ini biasanya dibawakan oleh Imam Selebran untuk menyapa jemaat dalam kapasitasnya sebagai pribadi Kristus dan pemimpin jemaat (in persona Christi dan in persona Ecclesiae). Dari TPE kita temukan contohnya: “Tuhan bersamamu; Tuhan sertamu.” Teks ini dibawakan dengan gerak tangan membuka, seperti ketika menyampaikan ajakan. Jemaat pun menanggapinya dengan rumusan khusus berupa jawaban atau seruam.
[4] Tanggapan: teks yang dibawakan oleh jemaat ini dapat dibedakan menjadi tanggapan yang berupa “jawaban” dan “seruan”. Teks jawaban untuk menanggapi salam dan ajakan Imam Selebran. Misalnya: “Dan bersama rohmu; Dan sertamu juga.” Sedangkan teks seruan (aklamasi) adalah untuk menegaskan/mengiyakan doa-doa dan berkat yang dibawakan oleh Imam Selebran. Contohnya: “Amin; Aklamasi Kudus; Aklamasi Anamnesis.”
[5] Renungan: jenis teks ini biasanya tidak langsung termuat dalam buku liturgis, namun ada kesempatan bagi imam atau petugas untuk membacakannya. Teks yang bersifat renungan ini bisa berupa amanat singkat, homili, atau bacaan rohani yang sesuai dengan misteri perayaannya.
[6] Nyanyian: teks nyanyian perlu juga disajikan secara khusus, entah dalam suatu kumpulan nyanyian-nyanyian (buklet) terlepas yang hanya digunakan untuk perayaan tertentu; atau yang dimasukkan dan menjadi bagian utuh dalam buku perayaan untuk kesempatan tertentu; atau yang disatukan dalam sebuah buku untuk berbagai keperluan (misalnya: Puji Syukur, Yubilate, Madah Bakti, dsb).
[7] Penjelasan: jika rubrik dirasa kurang memadai, kadang kala perlu juga disiapkan teks khusus yang isinya penjelasan bagi jemaat. Teks penjelasan itu dapat dibacakan untuk diketahui jemaat. Penjelasan itu bisa mengenai apa yang harus dilakukan jemaat pada bagian tertentu dalam perayaan, tentang suatu ritus/simbol yang mungkin belum dipahami jemaat. Atau apa pun, asal dimaksudkan untuk membantu jemaat agar bisa lebih menghayati perayaan yang mereka hadiri dan membantu memperlancar jalannya perayaan.
Teks liturgis: dibaca, dibacakan, dibawakan?
Bagaimana memperlakukan teks? Biasanya sudah ditunjukkan dalam rubrik. Ada teks yang oleh pemimpin/petugas dibaca sendiri dalam hati, dibacakan dengan suara lembut, atau dibacakan dengan suara lantang (PUMR 32-33). Jika diberi unsur musikal maka ada teks yang dibawakan dengan cara didaras atau dilagukan (PUMR 38). Ketika dibawakan oleh pelakunya, maka teks itu “mewujudkan diri” bagi pendengarnya. Teks itu menjadi hidup dan menciptakan komunikasi antara pembawa (pembaca!) teks dengan pendengarnya. Jika teks itu adalah suatu doa, maka jemaat yang mendengarkannya pun melibatkan diri dalam doa yang dibawakan si petugas, dan doa itu menjadi doa jemaat juga. Singkatnya, cara memperlakukan teks dapat dibagi menjadi dua:
[1] dibaca: dilakukan sendiri oleh pelakunya, entah sebelum atau dalam perayaan, dan
[2] dibawakan: dilakukan oleh pelakunya dalam perayaan dengan mengeluarkan suara. Ada dua cara bersuara: dengan lembut atau dengan lantang. Yang dengan lembut adalah doa-doa yang diucapkan oleh Imam Selebran, namun tak perlu diperdengarkan kepada jemaat. Jika bersuara dengan lantang, masih ada tiga macam cara lagi: dibacakan, didaraskan, atau dilagukan. Suara lantang dan ucapan yang jelas amat disarankan agar apa yang dibawakan itu mudah ditangkap oleh jemaat.
Awas, “virus verbalisme”!
Istilah verbalisme (Latin: verbum = kata) sesungguhnya berbau negatif. Kita gunakan di sini untuk menggambarkan suatu gejala yang cenderung menampilkan kata-kata secara kurang tepat atau berlebihan sehingga dapat mempengaruhi keindahan perayaan liturgi. Liturgi sendiri sudah mengandung banyak unsur kata. Maka, sebaiknya jangan dibanjiri lagi dengan kata-kata yang tidak penting dan justeru akan menjadi hambatan atau gangguan bagi “arus mengalirnya” perayaan liturgi. Perayaan bisa terasa tersendat-sendat, bertele-tele, atau bahkan terbelokkan maknanya, karena muncul banyak kata-kata yang kurang berdayaguna. Tanpa terasa, kebiasaan yang keliru bisa menjadi seperti virus yang menggerogoti “kesehatan” liturgi. Verbalisme hanya merupakan salah satu contoh virus yang ada dalam praktik berliturgi kita. Masih ada beberapa jenis virus lagi, misalnya klerikalisme, instrumentalisme, ritualisme, rubrikisme, seremonialisme, dsb.
Apa saja contoh virus verbalisme itu?
Virus verbalisme selalu berkaitan dengan sikap yang keliru dalam memperlakukan kata-kata dalam perayaan liturgi. Semoga contoh-contoh yang sering muncul dalam Misa berikut ini membantu menjelaskan.
[1] Petugas membacakan judul-judul ritus yang sebenarnya adalah bagian dari rubrik, maka tidak perlu disuarakan (Imam: “Doa Umat”; Lektor: “Bacaan Pertama”, “Mazmur Tanggapan [dengan refrein…]”, “Pengumuman”, dsb). Liturgi bukan sejenis upacara sipil kenegaraan yang biasanya menyebut rubrik atau nama-nama bagian yang akan dilakukan petugas/peserta: “Inspektur upacara memasuki/meninggalkan tempat upacara”, “Lagu kebangsaan”, “Pembacaan Pancasila”, “Istirahat di tempaaat, graaak!”, dsb.
[2] Doa-doa spontan (bukan teks resmi dalam buku liturgis) yang terlalu panjang dan tanpa struktur sehingga terkesan mengulang-ulang gagasan atau seperti mengudar perasaan belaka. Baik imam maupun umat seringkali tidak menyadari bahwa doa semacam itu kurang cocok untuk perayaan bersama yang harus merelatifkan keinginan, selera, dan kemampuan pribadi setiap peserta. Dengan kata lain, pendoa spontan perlu tahu diri di tengah kepentingan bersama.
[3] Homili yang disampaikan oleh Imam/Diakon juga bisa terserang virus verbalisme. Homili yang berkepanjangan, berputar-putar, membingungkan, atau tidak mudah dipahami bisa digolongkan dalam gejala verbalisme ini.
[4] Memasang tulisan pesan (bersifat tematis, moral, biblis) pada dinding, jendela, atau objek tertentu dalam tempat perayaan (ambo, altar), entah dalam bentuk spanduk atau bendera/panji secara tidak permanen, tergantung pada peristiwa atau masa tertentu. Gejala ini sepertinya mencontoh kebiasaan dalam pertemuan profan, entah sekedar sebagai hiasan atau mengandung unsur persuasif. Liturgi sebaiknya tidak disepadankan dengan pertemuan sosial-politik, yang lazim dipersemarak dengan aneka tulisan propaganda. Kecenderungan “berpropaganda” seperti itu seolah menunjukkan rasa kurang percaya akan daya dan pancaran dari Sabda yang diwartakan selama perayaan itu sendiri. Sepertinya umat dianggap kurang “begitu cerdas” untuk mampu menyerap dan memetik sendiri apa yang mereka alami dalam liturgi, sampai harus ditunjukkan melalui teks-teks semacam itu apa-apa yang perlu mereka pikirkan dan lakukan…. Kadangkala, teks-teks itu tidak berkaitan langsung dengan misteri atau tema yang sedang dirayakan dalam liturginya.
Bagaimana menyusun teks liturgis?
Seringkali diperlukan teks khusus untuk perayaan liturgis tertentu. Misalnya, untuk misa perkawinan, misa tahbisan, misa kaul, misa pelantikan, ibadat pemberkatan rumah, ibadat arwah, dsb. Beberapa hal perlu diperhatikan bila kita hendak menyusun suatu teks liturgis.
[1] Melihat dulu buku-buku liturgis resmi sebagai acuannya. Ini penting, supaya kita tetap berpegang pada prinsip “liturgi adalah milik bersama, seluruh Gereja universal” dan tidak sesuka hati dalam praktiknya. Buku-buku liturgis yang berkaitan dengan perayaan Misa, misalnya buku Tata Perayaan Ekaristi, Bacaan-bacaan, Penanggalan liturgi, Sakramentarium, dsb. Untuk Misa ritual Perkawinan, kita butuhkan pula buku Tata Perayaan Perkawinan. Untuk Misa Tahbisan, perlu juga dilihat buku Tata Perayaan Tahbisan, dsb.
[2] Memilih ritual/rumusan tekstual yang dibutuhkan untuk perayaan tersebut. Buku liturgis biasanya menawarkan beberapa pilihan pada beberapa ritus/ritual tertentu (misalnya: Cara A/B/C, Cara 1/2/3, dsb). Supaya teks liturgis yang kita siapkan tidak terlalu banyak dan tetap mudah dibaca, maka hanya ritus/doa/nyanyian yang sudah dipilihlah yang perlu kita tampilkan dalam teks liturgis khusus itu.
[3] Mengunakan peristilahan yang baku dan benar agar tidak menimbulkan salah pengertian atau salah memperlakukan teksnya (misalnya: judul-judul ritual [Ritus Pembuka, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, dsb], nama-nama benda/simbol yang digunakan).
[4] Membuat rubrik yang gamblang, mudah dimengerti, tidak membingungkan, sebaiknya yang tidak perlu dijelaskan lagi. Untuk liturgi yang sudah lazim dirayakan umat, mungkin rubrik tidak perlu dimuat secara lengkap. Biasanya umat sudah hafal dengan baik. Rubrik lengkap itu cukup untuk para petugas saja. Maka, petunjuk-petunjuk praktis dan yang to the point saja yang sebaiknya dicantumkan, misalnya untuk tata geraknya: duduk, berdiri, berlutut, dsb.
[5] Pilihan huruf yang enak dibaca. Jenis dan ukuran huruf bisa saja mempengaruhi jalannya perayaan. Maka, pilihlah yang wajar dan tidak merepotkan kalau dibaca.
[6] Pembedaan jenis atau ukuran huruf. Dengan bentuk yang berbeda diharapkan pembaca dapat memperlakukannya secara tepat. Maka, perlu juga dibedakan apa yang digunakan untuk rubrik (dengan huruf merah atau miring), yang harus dibacakan dan dibawakan (dengan huruf biasa); mana yang judul (tidak perlu dibacakan), mana yang isi (ajakan, salam, doa, bacaan yang dibawakan).
[7] Perlu ada petunjuk praktis di bagian depan, sebelum teks keseluruhan. Sebaiknya jangan dilupakan juga bahwa sebuah petunjuk praktis perlu ditampilkan sebelum seluruh buku/teks dibaca. Petunjuk informatif itu bisa meliputi: buku-buku yang digunakan, singkatan (untuk menyebut petugas, sumber nyanyian, sumber bacaan, dsb), kode angka (untuk menunjukkan saat pindah ke halaman tertentu, nomer ritual, dsb).
[8] Jangan terlalu banyak teks yang harus dipegang atau dilihat jemaat. Amat baguslah jika semua unsur tekstual bisa dimasukkan dalam satu buku liturgis khusus itu. Jadi, dari judul, rubrik, doa, hingga tata gerak dan syair nyanyiannya sudah disajikan dalam satu buku. Hal ini tentu akan mempermudah jemaat dalam merayakan liturgi, tak perlu direpotkan dengan kesibukan buka-tutup buku atau mencari teks dari beberapa buku yang tersedia untuk perayaan itu. Dampaknya adalah perayaan akan terasa lebih mengalir dan lancar. Sebaiknya cukup satu saja buku/teks yang dipegang jemaat, atau paling banyak dua.
Perlu ketelitian dan kerapian
Menyusun buku/teks liturgis bukanlah pekerjaan yang sangat mudah, namun juga tidak terlalu sukar bagi yang sudah terbiasa membuatnya. Maksud buku/teks liturgis khusus semacam itu adalah untuk membantu memperlancar jalannya perayaan. Maka, perlulah sikap teliti ketika menyiapkannya. Jika ditemukan banyak kesalahan, jelas akan terganggulah keindahan perayaan. Bayangkan, jika sebuah buku liturgis yang disiapkan itu ternyata lupa mencantumkan halaman buku atau judul-judul yang sungguh diperlukan. Saran praktis saja: buku/teks liturgis sebaiknya jangan hanya disiapkan oleh satu orang. Setidaknya, sebelum buku/teks itu digunakan dan diperbanyak untuk umat, perlulah dikoreksi ulang oleh orang lain. Yang menyusun mungkin sudah mengoreksi dan menganggapnya sempurna, tanpa kesalahan. Belum tentu. Mata orang lain mungkin akan lebih awas dan bisa melihat kesalahan atau kekurangan dalam buku/teks itu. Tidak sembarang orang bisa menyiapkan suatu buku/teks liturgis dalam tampilan yang indah. Tampilan yang indah memang sesuatu yang ideal. Kalau tidak bisa mencapainya, cukuplah mengupayakan segi ketelitian dan kerapiannya. Buku/teks yang tanpa salah dan rapi juga sudah menampilkan sisi keindahannya. Maka, cara pengetikan, pilihan jenis huruf, tata letak tulisan dan gambar perlu dipercayakan kepada orang yang cukup kompeten di bidang penerbitan buku atau soal cetak-mencetak. Lebih baik repot sebentar dengan memperhatikan ketelitian dan kerapiannya daripada buku/teks itu malah mengacaukan seluruh perayaan.
C. H. Suryanugraha, OSC
(seijin Aegidius Eko Aldilanto O. Carm.)
Senin, 08 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar