Oleh DWIKORI SITARESMI
Karl Edmund Prier SJ, pastor kelahiran Weinheim, Jerman, 72 tahun lalu, dikenal karena kiprahnya dalam musik liturgi gereja (Katolik). Kemampuannya mengolah dan mencipta lagu serta memainkan organ tidak diragukan lagi.
Romo Prier berkenalan dengan musik klasik saat berusia delapan tahun. Perkenalan itu menjadi awal ketertarikannya menekuni musik. Prier muda belajar main organ dan piano. Saat berlatih memainkan alat musik itu, mau tidak mau dirinya harus memahami teori musik, ilmu harmoni, analisa lagu, dan komposisi.
Pendidikan musiknya terus berlanjut ketika ia terpanggil menjadi imam dan menjadi anggota Societas Jesu (SJ), Serikat Yesus. Ketekunan itu membuahkan hasil.Karl Edmund Prier dipercaya menjadi guru musik di salah satu kolose di Austria.
Minatnya mempelajari musik berkembang ketika pimpinan Serikat Yesus mengutusnya dirinya menjadi misionaris di Indonesia. Prier jatuh cinta pada lagu-lagu tradisional. Itu berawal saat Prier tinggal di daerah Wonosari, Jogjakarta. Waktu itu ia masih frater. Ia tinggal di situ untuk mempelajari bahasa Jawa sebelum kuliah teologi di Sekolah Tinggi dan Filsafat Teologi Kentungan, Jogjakarta.
Pada 1960-an itu keadaan Wonosari memprihatinkan. Listrik tidak ada. Kemiskinan di mana-mana. Nasi tidak ada. Gaplek menjadi makanan sehari-hari penduduk setempat. Ketika Natal dirayakan dengan sederhana di Gereja Wonosari, Prier merasa sedih. Matanya menerawang merindukan kampung halamannya.
"Ah, seandainya saya berada di Jerman. Natal pasti terasa lain. Nyanyian Natal terdengar di mana-mana. Suasana sangat meriah."
Lama-kelamaan ia merasakan sesuatu yang lain yang menyentuh hatinya. Seusai misa, Karl Edmund Prier melihat beberapa jemaat yang datang dari tempat yang jauh enggan pulang dan memilih tetap menginap di gereja. Mereka berkumpul dan merayakan Natal dengan makanan seadanya. Hal ini dilakukan karena takut dengan orang-orang komunis yang berada di sekitar gereja.
Di malam hari, tempat itu dipakai untuk berlatih gamelan. Keramahan orang-orang di sekitar yang selalu menyapanya, bahkan menyuruhnya ikut main gamelan, sungguh membuat Karl Edmund Prier makin dekat dengan budaya dan bahasa Jawa.
Saat melanjutkan pendidikan teologi di STFT Kentungan, berbagai gagasan berkembang dalam benaknya. Ia mendapatkan ide-ide ketika membaca hasil Konsili Vatikan II yang salah satu poinnya berbunyi: "Hendaknya musik gereja berpangkal dari budaya setempat."
Karl Edmund Prier berpikir, "Kalau begitu lagu-lagu inkulturasi harus diciptakan agar liturgi gereja bertambah semarak." Untuk itu, menurut Prier, sebuah pusat musik liturgi harus segera dibentuk. Tepat setelah ditahbiskan, Romo Karl Edmund Prier mengusulkan hal itu kepada pimpinan Serikat Yesus. Ternyata, idenya diterima dengan baik.
Jogjakarta dipilihnya sebagai tempat untuk mengembangkan lembaga itu. Karl Edmund Prier berlasan, Jogja masih sangat menjunjung budaya Jawa dibanding kota-kota lainnya. Karena itu, Pusat Musik Liturgi (PML) didrikan di Jogja pada 1971. "Kota ini akan menjadi tempat untuk mengolah lagu-lagu inkulturasi dari daerah lain," harap Karl Edmund Prier.
Selain menciptakan musik inkulturasi, Karl Edmund Prier juga menciptakan pendidikan musik bagi umat Katolik di Jogjakarta. Ia memberi perhatian khusus terhadap pembinaan organis yang andal. Menurut dia, pendidikan musik harus diterapkan dengan serius dan berkesinambungan. Maka, dia membuat program pendidikan organis selama tiga tahun.
Mereka yang ingin mempelajari alat musik organ diberi pengetahuan tentang teori musik, teori dan praktik dirigen, liturgi, ilmu harmoni, membuat iringan, berlatih paduan suara, dan praktik organ dengan ujian. Juga ada pentas tiga kali setahun.
Ada satu lagu rohani yang selalu menjadi semboyan Karl Edmund Prier. Lagu itu berjudul NYANYIKAN LAGU BARU BAGI TUHAN. Kata demi kata yang menjadi syair kidung itu memberinya dorongan untuk terus berkarya,mencipta lagu, membuat komposisi musik.
"Menyanyikan lagu baru bagi Tuhan berarti menciptakan lagu baru. Lagu Indonesia yang inkulturatif sesuai dengan cita-cita Konsili Vatikan II," tuturnya.
Karl Edmund Prier sangat menghargai kerja tim. Hal itu dibuktikan saat mengadakan lokakarya komposisi musik gereja. Acara itu selalu menghasilkan lagu-lagu liturgi yang baru. Ia menghendaki setiap lagu yang diciptakan tidak ada nama penciptanya. Maka, tiap karya seni yang dihasilkan lewat acara itu hanya mencantumkan nama "hasil lokakarya komposisi musik gereja".
"Lagu-lagu itu adalah hasil kerja tim PML Jogjakarta. Bukan hasil karya perorangan," ungkapnya.
Karl Edmund Prier selalu memperjuangkan kelestarian lagu-lagu inkulturasi dalam gereja. Ketika pencipta-pencipta lagu rohani yang baru bermunculan, ia tidak merasa tersaingi, bahkan gembira. Namun, ia menyayangkan bila lagu-lagu baru dibuat asal-asalan, tidak liturgis, dan tidak sungguh-sungguh memperhatikan syair. Karya semacam itu hanya bertahan sebentar dan menjadi sampah.
Menurut Karl Edmund Prier, lagu gereja harus dibuat sungguh-sungguh sehingga dapat digunakan untuk membantu umat berdoa. Ia prihatin melihat perkembangan lagu-lagu baru.
"Kini, banyak pencipta lagu rohani yang terpengaruh dengan budaya lagu-lagu pop di televisi sehingga mereka membuat lagu gereja yang ngepop. Mereka merasa bahwa lagu-lagu tersebut sesuai dengan selera anak-anak muda," ujarnya.
Karl Edmund Prier berpendapat, pencipta lagu harus menyadari bahwa umat pergi ke gereja untuk mencari jawaban dari Tuhan atas segala permasalahan hidupnya. Kondisi itu sangat berbeda saat seseorang duduk di depan televisi dengan motivasi mencari hiburan. Maka, lagu gereja yang baik harus mempertimbangkan lirik dan nada yang dapat membantu umat berdoa.
Sejenak Karl Edmund Prier mengingat saat-saat ketika ia masih berada di Jerman. Waktu itu gereja-gereja berusaha menarik kaum muda mengikuti perayaan ekaristi. Mereka boleh menggunakan band dan lagu-lagu pop rohani yang sama sekali tidak liturgis. "Tapi lambat laun anak-anak muda itu tidak menemukan makna liturgi yang sesungguhnya dalam setiap musik yang mereka mainkan," kenangnya.
Karena itu, Karl Edmund Prier terus bersemangat dalam memperkenalkan pemahaman tentang lagu liturgi yang benar kepada masyarakat. Dia juga menginginkan paduan suara berkualitas untuk membawakan semua lagu yang diciptakannya bersama tim PML. Keinginan itu didengar oleh Paul Widyawan. Lahirlah Paduan Suara Vocalista Sonora di Jogjakarta.
Di usia 72 tahun, Karl Edmund Prier terus berkarya. Baginya, tiada hari tanpa musik.
Sumber: Majalah HIDUP, Jakarta
Kamis, 04 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar