Pengantar: Konsep Diri Mempengaruhi Pemahaman Sakral dan Profan
Dalam pemikiran filsafati Plato, manusia itu terdiri dari tubuh (soma) dan jiwa (psyche). Jiwa bersifat kekal sedangkan tubuh bersifat sementara. Jiwa dianggap sebagai realitas sejati, sedangkan tubuh dipandang sebagai bayangan jiwa, bahkan penjara jiwa. Oleh karenanya, kematian merupakan pembebasan jiwa dari penjara badani. Dikotomi struktur manusia inilah yang menjadi cikal bakal dari dualisme tubuh dan jiwa mempengaruhi teologi yang dikembangkan Agustinus (abad IV) dan filsafat modern yang dideklarasikan oleh Descartes (abad XVI). Pandangan teologis Agustinus dan filsafat Descartes ini mempengaruhi pandangan hidup manusia secara keseluruhan, termasuk konsep tubuh dan jiwa serta dunia profan dan sakral dalam liturgi.
Di samping konsep Plato, terdapat konsep trikotomi struktur manusia yang terdiri dari tiga bagian yaitu tubuh (soma), jiwa (psyche), dan roh (pneuma). Pandangan ini dapat ditemui dalam teologi Paulus dengan konsep manusia yang lebih utuh. “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa, dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita” (1 Tes 5: 23). Paulus menjelaskan manusia yang sempurna dan tak bercacat itu terdiri dari soma, psyche, pneuma.
Roh adalah unsur ilahi yang dihembuskan oleh Allah hingga manusia hidup (Kej 2:7) atau memiliki hidup baru dalam Roh (Yoh 20:22). Roh itu kekal, bebas, dan hakikatnya mempersatukan serta mengendalikan tubuh dan jiwa. Dosalah yang menyebabkan roh ini dikendalikan oleh tubuh dan jiwa. Jiwa adalah unsur hidup manusia yang diciptakan bersamaan dengan tubuh. Jiwa dianggap menjelma dalam organ otak untuk menjalankan fungsinya. Jiwa dikenal dengan cipta, rasa, dan karsa yang terungkap dalam pikiran, perasaan, dan kemauan. Tubuh adalah bagian luar manusia yang berupa organ-organ (panca indra) kelihatan. Tubuh mempengaruhi berfungsinya jiwa dan roh sekalipun tak menentukan.
Hanya manusialah yang diciptakan Allah dengan struktur roh, jiwa, dan tubuh. Akan tetapi, dalam filsafat modern tiga struktur manusia ini direduksi menjadi dua, yaitu jiwa (mind) yang dianggap bagian dalam (batin) dan tubuh (body) yang dipandang bagian luar manusia. Inilah juga menjadi akar adanya dikotomi dunia sakral dan profan. Konsep sakral dan profan ini tidak bisa dipisahkan dari konsep diri yang dikaitkan dengan bagaimana manusia mamahami dan memperlakukan tubuh, jiwa, dan rohnya. Plato mengembangkan konsep diri “self mastery via reason, Agustinus “God within inward self”, Descartes “Disengaged Reason”, Lock “Punctual Self”, dan Montaigne “Ever Changing Self.” Konsep diri ini sangat mempengaruhi pengertian profan dan sakral pada zaman tertentu.
Konsep Diri dari Plato menuju Montaigne
Self Mastery via Reason
Plato menekankan kekuatan logos (reason) sebagai basis dari eksistensi diri yang baik. Oleh karena itu, tatanan moral (jiwa) hidup seseorang dievaluasi baik kalau ternyata ia itu hidup atas dasar logos yang mengarahkan diri pada dunia ide di mana ide tertingginya adalah Yang Baik. Plato mempertentangkan hidup semacam ini dengan hidup yang dikuasai oleh keinginan, nafsu, dan naluri. Hidup berdasarkan rasio (reason) akan menghasilkan kosmos (keteraturan), sedangkan hidup berdasarkan keinginan (desire) akan menciptakan chaos (kekacauan). Jiwa yang baik itu akan menikmati keteraturan (Kosmos), keserasian (xumphonia), dan keharmonisan (harmonia) sedangkan jiwa yang dikuasai oleh keinginan akan berada dalam konflik tak berkesudahan. Oleh karenanya Plato menganjurkan para pengikutnya untuk menguasai keinginan dan mengatasi kesenangan semata melalui rasio. Hal ini ditegaskan oleh Charles Taylor dengan mengatakan “What we gain through thought or reason is self-mastery. The good man is a ‘master of himself’” dan “to be rational is truly to be master of oneself.” Orang yang menguasai diri dengan logos akan menghasilkan “unity with oneself, calm, and collected self-possesion.”
Plato menekankan kekuatan rasio untuk mengontrol diri berhadapan dengan situasi di luar diri karena locus dari the Good itu terletak di luar diri manusia. The Good itu terdapat dalam Dunia Ide. Oleh karenanya, manusia yang baik itu harus selalu hidup dengan menyesuaikan diri dengan konsep the Good tersebut di bawah kendali rasio. Kondrat rasio itu menyesuaikan dirinya pada rasio semesta (ontic logos) yang memang sudah ada sejak semula. Penyesuaian diri ini yang menyebabkan seseorang menjadi baik karena seluruh tindakannya mengalir berdasarkan usaha untuk menjadikan diri baik seperti yang dicanakan oleh the Good. Yang baik dipahami oleh Plato sebagai entitas berdimensi ilahi. Kebijaksanaan lahir dari kesatuan manusia dengan logos ilahi ini yang adalah the Good. Diri dan the Good itu terletak di luar diri, ada jarak, dan terpisah jauh. Maka, eksistensi manusia dalam mewujudkan kreativitas autopoetik dinyatakan dalam kerangka menyatukan gelombang hidup dengan gelombang the Good. Di sini imaginasi berperan dalam upaya menjadikan rasio sebagai tuan atas nafsu dan naluri. Segala hasil karya (artistik, teknik, dan praktis) dan bentuk hidup (moral dan spiritual) merupakan kreasi diri untuk mencapai kesempurnaan dalam bentuk persatuan diri dengan logos. Imajinasi mencari cara-cara kreatif untuk menghidupi diri sesuai dengan cita-cita natural eksistensi sehingga manusia hidup sesuai dengan esensinya. Dengan begitu, ia menjadi pribadi yang baik sebagai bayangan dari Yang Baik (pancaran Yang Satu ala Neo-Platonisme).
God within Inward Self
Kalau Plato menyakini konsep the Good yang menjadi acuan diri bereksistensi sebagaimana esensinya itu sebagai sesuatu yang ada jauh di luar diri manusia, Agustinus melihat konsep the Good itu dalam diri Allah yang tinggal dalam hati manusia. Oleh karenanya, Agustinus mengajak kita untuk bertemu diri sendiri: “Noli foras ire, in teipsum redi; in interiore homine habitat veritas” yang berarti “Janganlah pergi ke luar, kembalilah ke dalam dirimu sendiri. Di dalam diri batiahlah Kebenaran itu berada.” Itulah yang dinamakan inwardness (ke-dalam-an) oleh Taylor. Dengan konsep ini, Agustinus mengajak para pengikut untuk mengadakan apa yang disebut dengan radical reflexivity, di mana diri bertemu dengan diri sendiri. Diri menjadi awal dan titik pusat refleksi guna bertemu dengan Allah yang tinggal dalam ke-dalam-an.
Di sini kedalaman menjadi jalan masuk menuju keintiman diri di mana kita dapat mengetahui diri kita sendiri, sehingga kita mampu menghidupi kehidupan yang sesungguhnya sesuai dengan kodratnya. Hal ini juga merupakan panggilan batiniah untuk memperhatikan diri sendiri. Dengan ini kita dapat memiliki pengetahuan yang lebih benar tentang diri sendiri di kedalaman dan hati kita dengan semua pengalaman hidup positif dan negatif. Panggilan untuk masuk ke dalam diri sendiri adalah undangan mendesak dalam kreativitas autopoietik yang berkualitas.
Banyak orang sangat perduli terhadap diri sendiri. Apa yang sedang dilakukan nampaknya menjadi perhatian untuk diri sendiri tetapi sesungguhnya tidak demikian. Mereka perduli terhadap tugas dan tanggung-jawab, pekerjaan dan kepuasan serta program dan rencananya hidupnya sedemikian rupa. Semuanya ini baik, tetapi mereka tidak secara langsung relevan dengan perhatian terhadap diri sendiri; terhadap intimitas radikal dan kedalaman.
Mengapa kita harus masuk ke kedalaman dengan mendengarkan suara dari dalam? Hal ini bukan karena kebenaran ditemukan di dalam diri kita, tetapi lebih karena ditemukan pada Allah yang tinggal di dalam kita. Allah dijumpai di dalam intimitas diri. Dengan masuk ke kedalaman diri, kita ditarik lebih dalam. Ini adalah satu langkah menuju Allah sebagai the Good. Bagi Agustinus, Allah adalah subyek yang berada di luar sana, tetapi Ia juga adalah subyek di dalam diri (in Deum) yang dijumpai dalam saya. Karena itu Agustinus berkata: “Deus intimior intimo mio” tetapi juga “superior summo meo”. Allah menjadi sumber hidup dari mana keyakinan moral muncul, didasarkan atas apa preferensi kultural berasal, dari mana sikap harian tumbuh, dan karena apa kematangan rohani mencapai keutuhan. Allah menjadi standar kebenaran. Dialah kebenaran yang memberdayakan hidup. Oleh karenanya kita tidak mengarahkan hidup menuju Allah, tetapi lebih digerakkan oleh Allah (cinta) yang tinggal di dalam diri kita.
Disengaged Reason
Kalau Agustinus telah berusaha menyatukan konsep the Good pada diri manusia dengan cara proses internalisasi, yaitu menarik logos Plato yang berada jauh di luar diri masuk ke dalam diri, Descartes lebih ekstrim lagi bukan hanya menempatkan konsep the Good pada diri tetapi juga menjadikan konsep the Good itu sebagai bagian dari diri sendiri yang tampil dalam konsep “cogito ergo sum.” Oleh karenanya, Descartes berusaha menjadikan cogito (je pense) itu sebagai dasar ontologis kebenaran dengan kriteria clara et distincta. Cogito ini haruslah murni, dilepaskan dari unsur-unsur eksternal. Dari situlah muncul gagasan disengaged reason, sebagai rasio murni.
Cogito adalah bagian dari diri bahkan menjadi dasar dari eksistensi manusia. Kebenaran epitemologis ditentukan oleh cogito sebagai dasar ontologisnya. Oleh karenanya kebenaran itu tidak ditemukan di luar tetapi di dalam diri manusia, yaitu dalam wilayah rational yang disebut res cogitans bukan dalam wilayah badani yang disebut res extensa yang justru sering mengaburkan kebenaran epistemologis. Kalau dasar kebenaran itu adalah rasio, hal-hal yang rasionallah yang patut dihargai. Diri yang rasionallah yang dianggap sebagai diri yang benar. Dengan begitu, konsep diri dipikirkan dan diarahkan dalam tatanan rasional.
Kreativitas autopoetik pun berada dalam ranah rasional. Imajinasi yang berkembang di sini pun adalah imajinasi rasional. Dari situlah berbagai ilmu dan seni modern bermuncullan yang sebagian besar (kalau bukan seluruhnya) menggunakan basis rasional. Standar dan prosedur rasional ini digunakan oleh ilmu-ilmu alam (ilmu pasti, natural sciences). Sejak saat itulah ilmu-ilmu sosial (social/human sciences) mau menggunakan perspektif rasional ilmu alam. Pandangan reduktif dan dualisme hidup manusia pun tak terhindari sebagai konsekuensi logis dari konsep the Good yang diletakan semata pada cogito sebagai disengaged reason.
Bukti adanya Allah pun dimulai dari dalam diri rasional. Allah mau dibuktikan secara rasional. Keberadaan Allah dipahami oleh Descartes sebagai postulat. Allah adalah realitas yang ada begitu saja, tak perlu dipertanyakan. Konsep Allah itu termasuk idea innata, yaitu ada secara manusia bereksistensi. Allah menerapkan konsepnya dalam rasio manusia yang tanpanya cogito pun diragukan. Di sini Descartes menjadikan Allah sebagai backing kebenaran. Itulah veracity of God yang ditolak oleh Kant dengan cara sekularisasi Allah dalam epistemologinya guna mencapai pure reason.
Kalau konsep the Good adanya pada diri, manusia bisa menjadi benar karena diri sendiri, tak butuh orang lain. Di situlah akar individualisme modern. Descartes menjadi bapak dari individualisme semacam ini. Kreativitas penciptaan diri pun menjadi bernuasa individualistik. Seluruh hati, budi, dan energi dicurahkan guna pencapaian kedirian secara individualistik. Di sinilah terjadi dialektika dimensi rasionalistik dengan dimensi individulistik yang menjadi penyakit modern .
Punctual Self
Kalau Descartes telah mengandalkan cogito sebagai akar dari the Good yang ada dalam diri manusia, Locke menariknya lebih radikal lagi ke dalam the self itu sendiri. Bagi Lokce, konsep the Good itu tidak terletak di luar bagaikan Platonic ontic logos, atau tidak terletak di dalam diri bagaikan God within inward self, atau tidak menjadi bagian diri bagaikan cogito sebagai disengaged reason, melainkan diri itulah bertanggung-jawab penuh terhadap konsep the Good. Taylor menyebut diri tersebut sebagai punctual self. Diri yang pungtual bukan semata diri yang dilepaskan dari unsur-unsur eksternal seperti diengaged reason, tetapi juga diri yang berdiri sendiri sebagai remaking self. Diri itulah yang menjadi subjek bertanggung-jawab dalam menciptakan terus-menerus dirinya sendiri sebagai suatu entitas mandiri. Inilah sebetulnya yang disebut dengan konsep filosofis dari autopoiesis.
Sebenarnya Locke tidak berbeda dengan Descartes dalam menentukan basis kebenarannya, yaitu kekuatan rasio. Justru Locke sendiri menegaskan bahwa lewat keunggulan rasio inilah kebenaran dicapai. Ketika ia membahas tema “Men must think and know for themselves”, Locke menyatakan dengan tegas tujuannya adalah kebenaran melalui innate principle: “Truth has been my only aim.” Namun Locke menambahkan unsur personal commitment dalam upaya untuk mencapai kebenaran. Subjek adalah diri yang membuat diri secara bertanggungjawab penuh. Hal ini tentu dipengaruhi oleh konsep pengetahuan Locke yang bertumpu pada konsep tabula rasa, yaitu keadaan kosong bagaikan kertas putih tanpa tulisan yang siap menerima tulisan atau coretan apapun baik atau buruk. Oleh karena itu, Locke menentang segala teori epistemologi teleologis yang mengarahkan budi manusia pada suatu kebenaran tertentu atau menuntut rasio menyesuaikan diri dengan tatanan eksternal tertentu.
Diri pungtual yang berperan menjadi subjek yang bertanggung-jawab ini mengidentifikasikan diri dengan kekuatan untuk objektifikasi dan reifikasi termasuk mengambil jarak terhadap unsur-unsur lain yang secara potensial berubah-rubah. Taylor melihat bahwa diri pungtual Locke ini bersadar penuh pada kesadaran (diri), bukan pada unsur substansial apapun, material ataupun immaterial apapun. Di sinilah ia berbeda dengan Descartes yang menyadarkan dasar kebenarannya pada res cogitans. Kesadaran diri pungtual ini secara absolut tak tergantung oleh apapun dan menjadi basis untuk kontrol diri dan penciptaan diri. Kreativitas autopoetik dalam kaca-mata diri pungtual tidak memiliki tantanan atau pedoman apapun kecuali diri sendiri. Diri pungtual ini menyuburkan individualisme dan atomisme.
Ever Changing Self
Konsep diri ternyata mengalami proses internalisasi dari Plato (external ontic logos), Agustinus (God within inward self), Descartes (internal cogito), hingga Locke (self-consciousness). Inilah perjalanan pencarian dan penciptaan identitas diri modern untuk merumuskan martabat manusia yang sesungguhnya. Di situ terjadi proses self-exploration dan radical reflexivity.
Michele de Montaigne melihat bahwa upaya pencarian dan penciptaan diri tersebut melupakan kodrat manusia itu sendiri. Tak ada komunikasi dengan being. Bagi Taylor, Montaigne dengan jeli melihat adanya satu kodrat universal manusia, yaitu perpetual change. Perubahan terus-menerus ini bukan hanya terjadi dalam diri sendiri semata, tetapi juga ditemukan di mana-mana. Dalam kreasi diri, Montaigne mengajak kita untuk mengikuti apa yang Taylor rumuskan sebagai the contour of the changing reality of one being, himself.
Setiap manusia mempunyai kondisi “berubah”. Setiap manusia harus memiliki pengetahuan diri agar dapat pada penerimaan diri. Hal ini mungkin terjadi kalau manusia menyadari ada batasnya, bukan semata mencari diri terus-menerus. Manusia perlu menyadari dirinya sendiri. Pengetahuan diri inilah yang membuat manusia bisa mengetahui batas hidup. Montaigne melihat batas hidup itu ternyata adalah diri sendiri. Oleh karena itu kreativitas autopoetik di mata Montaigne adalah upaya kreatif untuk mengarahkan hidup sesuai dengan kondisi alamiah manusia. Taylor menulisnya demikian: “To live right is to live within limits, to eschew the presumption of superhuman spiritual aspirations. But limits which are relevant for me are mine; ….” Di sini Montaigne juga menolak berbagai standar tinggi non-manusiawi yang dipegang kebanyakan tradisi moral di mana kesempurnaan biasanya menjadi alasan kepuasan diri.
Dengan menyadari kodrat universal manusia, Montaigne sebenarnya ingin mengajak kita untuk mencari kodrat diri sendiri. Kreativitas autopoetik diarahkan untuk menerima siapakah sesungguhnya kita ini. Kreativitas tersebut mencari siapakah aku secara esensial dalam bereksistensi. Di sini tampak bahwa Montainge juga mengenduskan nafas individualisme modern, yang menurut Taylor adalah self-discovery yang berbeda dari Descartes entah dari segi metode ataupun tujuan. “Its aims is to identify the individual in his or her unrepeatable difference, where Cartesianism gives us a science of the subject in its general essence; and it proceeds by a critique of first-person self-interpretation, rahter than by the proofs of impersonal reasoning.” Taylor menyimpulkan bahwa Descartes adalah seorang pendiri individualisme modern, sementara Montaigne adalah seorang pencetus untuk pencarian originalitas setiap orang. Kelak Johann Herder menegaskan pendapat Montaigne ini dengan berkata bahwa setiap orang mempunyai cara originalnya sendiri untuk berada. Pencarian diri original (otentisitas) inilah yang sepantasnya mengarahkan kreativitas autopoetik seseorang untuk menemukan diri. Orang semacam itu, kata Rousseau, akan merasa at home dengan dirinya sendiri di mana dan kapanpun ia berada.
Agama dalam Dunia Antara Sakral dan Profan
Dalam kehidupan manusia purba, sebenarnya tidak terdapat konsep dikotomi antara dunia sakral dan profan karena konsep utuh hidup manusia (diri). Oleh karena itu aktivitas fisik sosial juga merupakan aktivitas psikis spiritual. Penemuan-penemuan fosil manusia, bahkan dari Zaman Batu Awal, menunjukkan adanya ekspresi religius yang ditampilkan dengan berbagai upacara ritual. Ini menjadi bukti adanya agama yang menjadi bagian intergral dalam masyarakat primitif awal. Esensi manusia pada waktu ini ditampilkan dalam eksistensi agama sebagai kegiatan spiritual dan sosial manusia yang muncul dalam bentuk yang khas, bervariasi baik secara historis maupun geografis karena agama merupakan elemen dasar dalam hidup baik komunal maupun individual. Pada awalnya, agama menjadi bagian utuh dari hidup manusia purba yang tak terpisahkan dari aspek-aspek hidup lainnya. Di sana agama menjadi mode of being dan mode of living.
Dalam sejarah, ketika peradaban mulai terbentuk atau disadari ada bentuknya, pada saat itulah agama menjadi salah satu produk kebudayaan yang dibedakan dari hasil-hasil kebudayaan yang lain, seperti bahasa, ilmu pengetahuan, mitos, dan seni. Maka, di sini mulai terjadi perubahan dari mode of being menjadi mode of having, dari mode of living menjadi mode of doing. Pergeseran ini membawa konsekuensi besar karena agama kini bukan lagi merupakan unsur intrinsik melainkan bagian ekstrinsik hidup. Agama bukan lagi suatu aktivitas internal melainkan telah menjadi aktivitas eksternal. Tegasnya, agama telah menjadi suatu produk masyarakat tertentu. Agama telah menjadi suatu komoditi.
Dalam khasanah filsafat yang dianggap sebagai mater scientiarum, lahirnya filsafat terjadi karena perubahan paradigma dari mitos menuju logos, dari dunia mitis, ketika tiada dikotoni antara dunia profan dan sakral menuju dunia logis, yang memisahkan dunia profan rasional dengan dunia sekular spiritual. Perubahan ini mempengaruhi pemahanan agama yang semula sangat didominasi oleh pemikiran mitis. Perubahanan ini menyebabkan munculnya klasifikasi agama: ada agama tradisional yang berpijak pada pemikiran kultural, lokal, dan emosional dan ada agama konvensional (“paska-tradisional”) yang berdasar pada konsep rasional, universal, dan objektif. Agama tradisional dikawal oleh berbagai mitos dan legenda, sedangkan agama konvensional dijaga oleh sistem keyakinan dan kepercayaan teologis yang biasanya ketat.
Ketika menjadi suatu sistem, agama mengekspresikan diri dalam bentuk visi dan misi. Visi dan misi ini dibuat baik untuk menjaga kontinuitas dan kualitas agama maupun untuk menambah produktivitas dan kuantitas pengikutnya. Maka, untuk mengamankan visi dan misi, agama membutuhkan seperangkat fungsi yang terorganisir. Hal ini memungkinkan agama berkembang dari suatu organisme hidup yang terdiri dari pribadi-pribadi kreatif dan dinamis yang menyatu dengan (atau menjadi bagian dari) alam semesta menjadi suatu organisasi ketat yang cenderung bersifat reaktif dan statis guna mengontrol alam semesta. Maka, yang dipentingkan pada saat itu adalah struktur fungsional yang terbagi menjadi hierarki dan kaum awam dengan uraian tugasnya masing-masing. Belum lagi, ada pembagian struktural dalam hierarki. Agama telah menjadi suatu lembaga institusional. Perubahan dan perkembangan seperti ini menyebabkan makin kuatnya dikotomi dunia profan dan sakral.
Bagi Emile Durkheim, ada begitu banyak definisi tentang agama. Meski demikian, ada karakter dasar yang mutlak dalam agama, yaitu the characteristic of the supernatural dan the idea of divinity. Kalau kedua karakter dasar ini diterima sebagai unsur yang mampu memenuhi kerinduan naluri religiusitas manusia, agama harus kembali menitik-beratkan unsur adikodrati serta pribadi dan dunia ilahi dalam aktivitasnya. Kedua unsur tersebut melampuai kemampuan formulasi konseptual. Konsep apapun tentang yang adikodrati dan yang ilahi akan merupakan suatu reduksi atas realitas ilahi dalam dunia insani. Formulasi konseptual tetap dibutuhkan guna komunikasi yang tampil dalam bentuk visi dan misi. Akan tetapi, konsep jangan menjadikan miskin kekayaan pengalaman langsung dengan yang ilahi dan adikodrati.
Setiap agama kiranya perlu mengajak para pemeluknya untuk tidak terjebak pada tantanan konseptual tentang Yang Ilahi, melainkan menfasilitasi mereka untuk mengalami Yang Ilahi secara pribadi menurut norma dan keyakinan yang dipercayai diterima dalam relevasi. Agama harus menempatkan diri sebagai field of experience bukan semata sebagai field of knowledge. Apa yang dialami mesti diketahui dalam kesadaran, walaupun sering tak terumuskan dalam pengetahuan teoretis. Apa yang dialami tidak mesti mutlak berasal dari pengetahuan yang diperoleh melalui pencerapan indra karena ada pengetahuan tanpa referensi, tanpa mediasi indrawi (George Berkeley), melainkan dengan revelasi ilahi dalam dunia insani yang lebih sering dialami secara pribadi. Tantangan agama hic et nunc adalah bagaimana menjadikan dirinya sebagai tempat di mana orang-orang dapat masuk ke dalam dunia ilahi dan berjumpa dengan pribadi ilahi. Di sana orang akan mengalami bukan kepuasan psikologis akibat ketidakpuasan patologis seperti yang dicurigai oleh Anton Vergote, melainkan keheningan dan ketenangan mistik. Pada saat itu orang bisa mengalami Allah secara pribadi yang mungkin berbeda, tapi tidak bertentangan, dengan formulasi dogmatis. Pengalaman religius semacam ini dirumuskan oleh Rudolf Otto sebagai pengalaman akan Yang Kudus yang tak terumuskan oleh kata-kata dan tak terungkap lengkap dalam simbol sekalipun. Di sana orang masuk dalam mysterium tramendum et fascinans. Perjumpaan dengan Yang Kudus memungkinkan seseorang mengalami kekecilan dan kekerdilan, bahkan rasa takut religius di hadapan Pribadi yang Maha Kuasa. Pada saat itu orang mengalami the sublime (Emanuel Kant). Pengalaman ini mengantar manusia pada sikap rendah hati karena menyadari diri tak ada artinya di hadapan Yang Kudus dan pada sikap takwa karena menyadari dirinya nothing di hadapan Yang Kudus yang mungkin dialami sebagai Sang khalik. Pertemuan dengan Yang Kudus memungkinkan seseorang mengalami keindahan dan ketenangan, bahkan rasa damai religius di hadapan Pribadi yang Maha Rahim. Pada saat itu orang juga mengalami the beauty (Emanuel Kant). Pengalaman ini membawa manusia manusia pada sikap syukur karena menyadari kebaikan dan kemurahan Yang Kudus dan mengarahkan pada sukacita karena menyadari diri sebagai pribadi yang beruntung bisa bersua dengan Pribadi yang sangat dirindukan. Berbagai pengalaman ini memungkinkan pemeluk agama memiliki ruang sakra, di mana ia bersanding dengan Yang Kudus dalam keheningan.
Saat ini agama terpanggil untuk mengumandangkan kembali pengalaman akan pribadi ilahi. Justru dalam dunia sekular sekarang ini agama ditantang untuk memberi makna yang dalam pada dunia. Agama harus mampu membawa orang pada courage to be, keberanian untuk bereksistensi karena masuk ke kedalaman hidup, di mana ia mengalami acceptance dan forgiveness. Kedalaman hidup semacam ini memungkinkan seseorang mampu menangkap jejak-jejak ilahi dalam dunia insani sekalipun dalam kosmos sekular.
Peter Berger melihat jejak-jejak ilahi justru pada saat perubahan paradigma dari mitos ke logos terjadi. Thales dari Miletos, filsuf pertama Yunani, menyerukan bahwa segala hal itu penuh dengan alah-alah. Plotinos menunjukkan adanya unsur-unsur transenden yang berlebihan yang menjurus bahkan telah sampai pada panteisme yang kemudian ditegaskan oleh Spinoza dalam konsep Deus cive Natura. Dalam kristianitas, Allah muncul dalam diri para utusanNya yang disebut angeloi Theou. Angeloi Theou ini mampu menangkap transendensi dan eksistensi Ilahi dalam dunia insani. Rupanya dunia sekular mengikis kehadiran angeloi Theou. Bagi Berger, penemuan kembali hal-hal yang supernatural dan transendental merupakan kemungkinan bagi teologi saat ini. Pada akhirnya bukunya, A Romour of Angels, Berger menekankan perlunya orang mendekati agama dengan minat-minat terhadap kebenaran yang mungkin daripada terhadap aspek-aspek manifestasi religius tertentu.
Dengan berpangkal pada kebenaran karena mampu mencermati jejak-jejak adikodrati dan pribadi ilahi melalui pengalaman, agama perlu melakukan reafirmasi sebagai bagian upaya reposisi. Cara reafirmasi yang paling mungkin bagi Berger adalah cara induktif. Cara induktif bermaksud membawa pengalaman-pengalaman dalam dunia sekular ke dalam refleksi alam tradisi religius. Dengan kata lain, pengalaman keseharian dicari akar dan maknanya dalam tradisi dan esensi agama. Setelah itu, pengalaman-pengalaman yang sudah diberi isi diterapkan kembali dalam dunia sekular, diafirmasikan secara baru. Di sini agama melakukan proses sekularisasi. Sekularisasi adalah proses menempatkan unsur-unsur yang berbeda bahkan kadang dianggap bertentangan, yaitu urusan sakral dan profan, urusan adikodrati dan kodrati, urusan agama dan dunia pada porsi dan posisinya masing-masing dalam komposisi yang seimbang menurut urgensinya sendiri-sendirinya. Kedua unsur tersebut tidak dipertentangkan sebagai hal yang berlawanan, melainkan sebagai wilayah yang mempunyai otoritas masing-masing. Keduanya tetap berhubungan, tetapi tidak boleh dicampur-adukan. Proses sekularisasi membangkitkan keterpurukan agama yang mungkin telah dijadikan komoditas ekonomis dan politis serta membebaskan pemeluknya dari kemuakan psikologis dan tendensi patologis. Agama seharusnya menjadi tempat pengalaman perjumpaan dengan Allah yang memberi inspirasi dan aspirasi untuk mewartakan kebenaran dalam dunia sekular. Maka, agama seharusnya memberi isi, visi, dan koreksi pada urusan dunia sehingga tatanan sosial, politis, dan ekonomis memiliki misi yang sesuai dengan agama, yaitu kebenaran. Dengan kata lain, urusan “pasar” harus mengalir dari “altar” dan persembahan pada “altar” merupakan hasil pergulatan di tengah “pasar”. Dengan begitu realisi agama dengan dunia adalah relasi konfirmasi bukan manipulasi. Pada saat itu agama menjadi fasilitas dan aktivitas bagi realisasi mode of being yang bersumber dari religious experience dan bermuara pada hidup nyata sebagai mode of living.
Ritus yang merupakan aktivitas spiritual yang utama dalam agama juga mengalami proses tegangan antara dunia profan dan sakral. Apalagi upacara ritual keagamaan terpusat pada kegiatan pencurahan darah melalui kekerasan terhadap korban demi yang ilahi. Upacara spiritual-sakral dalam relasi dengan yang ilahi dilaksanakan melalui kegiatan badani-profan dengan cara-cara insani. Tegangan antara aspek profan dan sakral dalam dunia perlu didamaikan lewat reposisi agama sendiri sebagai mode of being dan mode of living dalam situasi dunia konkret saat ini. Ritus seharusnya mampu menghantar pemeluknya pada unio mystica dengan yang Ilahi dengan tetap menghargai dan mensyukuri yang insani. Yang spiritual hanya mungkin dilaksanakan melalui aktivitas badani.
Pentingnya Tubuh dalam Liturgi Kristen Abad Pertengahan
Dalam trandisi dan dan teologi ritus sejak kristianitas awal, tubuh mendapat peranan penting dalam upacara ritual keagamaan. Bahkan gereja abad pertengahan berusaha menginkorporasikan tubuh spiritual dalam ekspresi ritual dengan menekankan pentingnya pengalaman tubuh dan pengalaman kolektif akan kehadiran yang kudus. Di sini praktek dan makna liturgi harus ditemukan dalam tubuh.
St. Ambrosius (abad V) memahami pembaptisan sebagai suatu transformasi tubuh menuju keadaan tak berdosa dalam tubuh Kristus yang murni. Ia menegaskan di Basilika Milan bahwa transformasi tersebut akan terjadi kalau tubuh yang dibaptis dioles air suci dari kolam suci di depan Basilika. Di sini terjadi transformasi baik somatis maupun ontologis. Bahkan sebelum pembatisan, seorang calon baptis diurapi minyak sekujur tubuhnya sebagai atlet Kristus supaya mampu melakukan tindakan fisik yang keras seperti melakukan pantang dan puasa. Demikianpun, St. Sirilus menegaskan bahwa pengurapan beberapa bagian tubuh merupakan bagian penting dalam pembaptisan, seperti pengurapan telinga supaya bisa mendengar misteri ilahi, pengurapan hidung supaya bisa mencium aroma Kristus, dan pengurapan dada untuk melindungi diri dari yang jahat. Di sini upacara ritual tubuh menjadi jalan untuk terjadinya pembentukan pribadi (diri) seorang kristen baru.
Pentingnya peranan tubuh sensual dalam pengalaman spiritual juga ditegaskan oleh St. Agustinus bahwa pengetahuan kita akan dunia secara langsung membawa kita pada pemahaman akan Allah. Keduanya baik indra maupun batin manusia berperan penting dalam pengalaman akan cinta Allah.
St. Bonaventura (Abad XII) meyakini bahwa pengetahuan akan Allah selalu dimediasi oleh pengalaman badani seperti pengalaman akan “kemanisan.” Pengalaman akan Allah selalu terjadi dalam pertemuan badani. Alam semesta di mana kita berada adalah penampakan dari yang Ilahi. Ciptaan dianggap sebagai suatu buku di mana Allah Tritunggal dapat dibaca.
Sekalipun Agustinus dan Bonaventura menekankan peranan tubuh dalam ritus, keduanya memiliki pendekatan teologis yang berbeda. Bonaventura sangat meyakini bahwa indra mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk menentukan jiwa secara langsung sehingga manusia dalam menjumpai Allah dalam kontak langsung dengan dunia ekternal. Sebaliknya, Agustinus meyakini bahwa jiwalah yang membentuk sensasi badani sehingga tanpa dasar spiritual (psikologis) tak mungkin mengalamai pengalaman badani akan keindahan ilahi.
Pentingnya tubuh juga tampak dalam teks-teks liturgi abad XVI. “The most frequently printed prayer in early sisteenth/century primers was the Salve salutaris hostia, which emphasised the bodily suffering of Jesus as a focus for ensuring the bodily revewal of individual Christians and the Church itself.” Sebelum komuni, umat berdoa supaya layak disatukan dengan tubuh Kristus yang adalah gereja. Pada waktu konsekrasi, imam mengambil roti persis saat ia mengucapkan acceptit panem (Ia [Yesus] mengambil roti). Tubuh imam diyakini sebagai tubuh Yesus yang mengambil roti, di mana imam mengucapkan kata-kata Yesus sendiri. Pada jaman itu, ada banyak prosesi liturgis pada awal misa yang mencerminkan posisi sosial masyarakat kota dan desa. “The sacrifical and bloody body of Christ became an indispensable focus for much medieval devotion and the means through which the social world was restored to harmony.” Di situ terjadi integrasi antara keterlibatan ritual (dan sakramental) seseorang dengan integrasi dan harmoni sosial. Oleh karenanya, pengakuan dosa merupakan tindakan tanggung-jawab komunitas pada sesama daripada sebagai tindakan pengakuan pribadi. Oleh karena itu Torevell melihat bahwa pada masa itu Ekaristi dipahami dengan tiga cara: sebagai saat di mana kehadiran ekatistik terjadi saat konsekrasi oleh imam, sebagai korban ritual yang mengulangi tindakan Kristus yang menyerahkan diriNya, dan sebagai penampilan dramatik dari ekonomi penyelaman secara keseluruhan.
Tubuh orang suci diyakini sebagai kehadiran yang ilahi. Oleh karenanya, para kudus biasa dimakamkan di sekitar gereja, bahkan dalam gereja dan di bawah altar. Segala peninggalan yang berhubungan tubuhnya dijadikan relikui suci yang ditaruh di altar yang dihubungkan dengan kematian Yesus sebagai pengorbanan untuk keselamatan manusia. Peranan tubuh dalam ritus juga tampak dalam upacara pemakaman. Orang yang dibaptis dikuburkan dalam tanah yang diberkati sedangkan orang Yahudi, kusta, dan tak dibaptis tidak diperkenankan dimakamkan di atas tanah yang diberkati. Oleh karenanya pemakanan pada zaman itu menujukkan perbedaan status sosial. Upacara ritual menjadi presentasi sosial seseorang.
Yang dimaksud tubuh dalam abad pertengahan tersebut di atas adalah tubuh pria. Tubuh wanita diasosiasikan dengan dosa sehingga tak layak untuk menjadi medium komunikasi dan presensi yang Ilahi. Tubuh wanita kudus menjadi tubuh yang memungkinkan mediasi karena “dipriakan” setelah melampui sederetan perjuangan dan pergulatan fisik dengan cara mengontrolnya hingga tidak menjadi godaan bagi perkembangan spiritual umat. Oleh karenanya wanita kudus (santa) dianggap sebagai santo (pria). Pada saat itu wanita per se diyakini tidak pernah mencapai perkembangan spiritual.
Karena pandangan negatif terhadap tubuh wanita, dikotoni tubuh dan jiwa dikesampingkan oleh kaum mistik wanita. Tubuh dan jiwa menjadi satu. Kebertubuhan jiwa inilah yang lebih ditonjolkan. Namun perspektif tubuh pria tetaplah dominan, di mana mereka diarahkan kepada kepriaan (kemanusiaan pria) Yesus untuk mengalahkan kedagingan.
Relasi tubuh sebagai unsur insani (profan) dengan ritus sebagai unsur ilahi (sakral) berubah pada zaman reformasi. Hal ini dikaitkan dengan perubahan konsep tentang menjadi seorang kristiani yang baik yang tidak ditentukan oleh usaha konkret, tetapi oleh iman semata berkat rahmat. Oleh karenanya, tindakan sakramen berefek bukan karena tindakan ritual di mana rahmat turun, tetapi tergantung pada iman itu sendiri sekalipun tanpa tindakan ritual.
Peter Berger berpendapat bahwa ritus Katolik merupakan sarana kolektif yang paling bagus untuk memelihara kesatuan dan kelanjutan antara hal-hal dalam bumi dan surga. Katolik mampu mempertahankan jembatan antara dunia insani dan ilahi, antara Allah dan manusia melalui ritus, antara tubuh dan jiwa. Sebaliknya, Protestan gagal untuk membuat jembatan ini. Bahkan menuduh sarana insani termasuk lokasi tertentu sebagai bagian dari penyembahan berhala tanpa mampu mengalami kekudusan yang ilahi dalam rupa insani. Oleh karenanya, tak ada konsep tempat suci seperti pemahaman Katolik. Hal ini tampak dalam konsep konsekrasi yang mengambil prinsip consubstantio (bukan transubtantio yang dianut Katolik) hingga tak membutuhkan tabernakel dalam gereja. Dengan berkembangnya teologi protestan semacam ini, dikotomi profan dan sakral kembali merebak dan bahkan menjadi subur bersamaan dengan berkembangkan protestantisme. Charles Taylor pun melihat hal yang sama ketika kaum puritan kristen berkembang melalui desakralisasi sakramen, termasuk sakramen imamat, di mana imam dan awam dipandang sama.
Munculnya Descartes dengan konsep res cogitans dan res extensa memperbesar gap antara tubuh dan jiwa yang membawa konsekuensi besar pada pemahaman dan pelaksanaan praktek keagamaan, termasuk penghayatan pada ritus. Fungsi tubuh menjadi berkurang. Dalam meditasi kedua, Descartes yakin bahwa hanya dengan berpikir melalui persepsi kita dapat memahami tubuh tanpa perlu melihat atau menyentuhnya. Taylor mencermati bahwa pandangan Descartes ini memaksa kita memahami hal-hal spiritual tanpa tubuh. Itulah apa yang disebut dengan disengaged reason yang menyebabkan peranan penting tubuh pada abad pertengahan digugurkan oleh Descartes. Tubuh dan dunia mau dijadikan objek rasio untuk kebenaran. Tubuh dan dunia bukan lagi menjadi bagian dari kebenaran. Perspektif yang melepaskan kebertubuhan ini menjadi dominan sampai saat ini. Dalam perspektif ini, alam semesta dinetralisasikan dari unsur-unsur spiritual. Kosmos tidak lagi dipandang sebagai tempat tinggal yang penuh makna, pakaian ilahi dalam dunia insani, maupun epihani Allah di tengah manusia.
Akibat lanjut dari pandangan Descartes ini, kebenaran dipandang secara prosedural daripada secara substansial. Keunggulan rasio instrumental yang mengontrol ditekankan. Jurang dunia sakral dan profan pun kian menganga.
Penutup: Konsep Integral Profan dan Sakral Mengatasi Sekularisme
Rasionalisme Descartes menyebabkan rasionalisasi terhadap ketidak-mampuan menangkap kehadiran yang ilahi dalam kegiatan manusiawi. Dalam situasi seperti itu, ritus cenderung dipandang sebagai kegiatan seremonial belaka. Pada saat itu, virus sekularisme merasuki kehidupan pemeluk agama dalam penghayatan imannya. Sekularisme terjadi ketika orang hanya melihat unsur fisik dan material dalam kegiatan spiritual bukan karya Roh dalam institusi atau pribadi atau ritus tertentu. Bagi Andre Malrauz, krisis saat ini adalah “crisis of the spirit”. Penghayatan dan pelaksanaan praktek keagamaan dirasionalisasi dan dikonfrontasi secara negatif dengan kriteria dunia modern. Keberadaan Allah tidak ditolak, tapi peranannya disingkirkan dari hidup manusia dan dunia konkret. Bahayanya orang pintar dan lihai yang menggunakan prinsip keunggulan rasio instrumental adalah membuat alasan yang masuk akal untuk membenarkan perbuatannya, termasuk menghilangkan unsur-unsur religius atau simbol-simbol keagamaan yang sebenarnya memiliki otoritas religius.
Kurniawan Muhammad (5 Nov 2007) menulis “Manusia itu dibagi menjadi tiga tingkat: tingkat mata, otak, dan tingkat hati”di Jawa Post. Manusia sekular itu adalah manusia yang berada pada tingkat mata dan otak. Orang yang masuk dalam tingkat hati, spirit masuk ke wilayah roh, memahami ruang ilahi dalam dirinya dan mengakui peranan Allah dalam hidupnya.
Dunia sekular terjadi karena Allah tidak lagi mendapat tempat dalam hidup insani. Seorang religius menjadi sekular kalau ia sudah “tidak takut Allah”, “tidak menghargai Allah”, dan “tidak mengakui peranan Allah”. Allah diakui ada, tetapi terpisah dari hidup nyata keseluruhan. Allah dipandang sebagai subjek terpisah dari pujian dan doa yang bermakna sosial religius (terpatok pada penampilan fisik) semata, daripada sebagai pengalaman religius. Yang sakral diprofankan.
Kalau seorang pemeluk agama sudah menjadi sekular, kegiatan keagamaan menjadi upacara belaka, tanpa makna yang menyentuh hati dan budi. Akibatnya, kalau ada sesuatu yang berkaitan dengan ritus dilanggar, ia pun merasa tak bersalah. Kalau gairah akan hidup rohani hilang, benih-benih virus sekularisme mulai tumbuh. Kalau virus sekularisme sudah merasuk praktek keagamaan, ritus menjadi sebuah drama atau bahkan menjadi tidak bermakna sama sekali. Di situlah ritus bisa menjadi mode of doing, mode of having, dan mode of buying.
Menjawab pertanyaan tentang sekularisme yang dilontarkan oleh para Uskup Amerika (2008), Paus Benedictus XVI menjawab: “Faith becomes a passive acceptance that certain things “out there” are true, but without practical relevance for everyday life. The result is a growing separation of faith from life: living “as if God did not exist”. Oleh karena itu, untuk menangkis sekularisme dalam ritus dan menjembatani dunia profan dan sakral, ritus jangan pernah dipisahkan dari hidup, konsep hidup perlu dikembangkan dari konsep diri sebagai citra Allah, dan konsep diri perlu diperbaharui terus ke arah diri integral.
Footnotes:
Charles Taylor membahas sejarah konsep diri sebagai dasar identitas diri Modern. Sources of the Self. The Making of the Modern Identity, Cambridge University Press, Cambridge 1989, 111-207.
Bagian ini merupakan bagian utama artikel “Konsep Diri dalam kaitan dengan Kreativitas Autopoetik” karya Anton Subianto yang dipresentasikan dalam Extension Curse Filsafat, 15 Mei 2009.
Plato, Republic (430 e), R. Waterfield (trans.), Oxford: Oxford University Press, 1994, 137-138.
Ibid., 116..
Ibid.
Oleh karenanya dalam Apologia, Plato menyamakan pengalaman penyair ketika menciptakan puisi bagaikan seorang nabi yang diberi inspirasi dan dirasuki oleh yang ilahi. Plato, The Trial and Death of Socrates: Euthyphro, Apology, Crito, Death Scene from Phaedo, trans. G. M. A. Grube and John M. Cooper, 3rd ed., (Indianapolis: Hackett, 2000), 25.
AUGUSTINE, De Vera Religione, 39.72 dalam Augustine, True Religion, trans. Ray KEARNEY in On Christian Belief, Boniface RAMSEY (Ed.), New York 2005, 78. Lihat juga terjemahan Taylor. Charles TAYLOR, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity, Cambridge 1989, 129.
(Allah ada lebih dalam daripada yang paling dekat dengan saya dan lebih tinggi daripada yang paling jauh jauh dari saya AUGUSTINE, Confessions, Penguin Books, New York 1963, III. vi.
Rasio murni ini berbeda dengan konsep pure reason dari Kant.
Ada 3 penyakit modern, yaitu individualism, the primacy of intrumental reason, soft despotism. Charles TAYLOR, The Ethics of Authenticity, Harvard University Press, Cambridge 1992, 1-12.
Konsep autopoesis pada awalnya memang ditemukan untuk menggambarkan suatu sistem hidup mandiri dalam ranah biologis. Kemudian konsep autopoesis ini dikembangkan oleh dalam teori sistem sosial oleh Niklas Luhmann yang disebut dengan evolusi komunikasi dari oral, melalui tulisan, hingga menuju media elektronik dan paralel dengan evolusi masyarakat melalui diferensiasi. Ia juga menerapkan pada sistem hukum sosial, di mana kesatuan hukum pun ia pandang sebagai autopoiesis, self-production. Lihat Niklas Luhmann, Law as a Social System, Oxford University Press, New York 2008, 70.
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, London: George Routledge and Sons, 1894, 55.
Charles Taylor, Sources of the Self, 172.
Charles Taylor, Sources of the Self, 179.
Charles Taylor, Sources of the Self, 180.
Charles Taylor, Sources of the Self, 182.
Bagian ini merupakan bagian kecil (dengan modifikasi) dari tulisan berjudul “Reposisi Agama” oleh Anton Subianto dalam Jurnal Filsafat Melintas, Th. 20, No 61, April – Juli 2004, hlm 57-52.
“There can be no denying the fact that from prehistoric times, as far back as modern investigators have been able to trace, man has always been in possesion of a religion of some sort.” Gopi Krishna, The Biological Basis of Religion and Genius. Ruth Nanda Anshen (Ed.), New York: Harper & Row Publishers, p. 55.
“Men and women started to worship gods as soon as they became recognizably human.” Keren Amstrong, A History of God: The 4000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. New York: Ballantine Books, 1993, pp.xix, 3. Buku ini berbicara soal sejarah konsep Allah.
“In the history of the world, religion in widely different forms has been a basic element in society and individual life. It is the nature of most men to look beyond themselves and their society. Much of the sanction for their collective activities has derived from the beliefs which the religious sensitivities of men have produced.” Philip H. Ashby, History and Future of Religious Thought: Christianity, Hinduism, Budhism, Islam. Englewood Cliffs, N.J.: Pprentice-Hall, Inc., 1963, p.1.
Ernst Cassirer, Cassirer, Ernst. The Philosophy of Symbolic Form. Trans. Manhelm, Ralph, New Haven & London: Yale University Press. vol. 1. 1968, p. 80.
Dalam dunia modern saat ini, agama telah dicurigai menjadi suatu komoditi, entah itu komoditi ekonomis, etnis (sosial), maupun politis. Di sini agama bukan mode of being melainkan telah menjadi mode of doing, bahkan telah menjadi mode of buying. Orang beragama bukan untuk mencari esensi (the Ultimate Reality) di balik agama, melainkan mencari keuntungan entah secara ekonomis, sosial, maupun secara politis. Di samping itu agama juga dicurigai sebagai komoditas psikologis. Dalam fenomenologi agama, motivasi beragama itu bervariasi. Salah satunya adalah karena manusia mengalami frustrasi.
Perubahan paradigma ini menyebabkan perubahan total dalam masyarakat Yunani. Kini mereka ditantang untuk berpikir rasional, universal, dan objektif bukan semata puas dengan penjelasan dan keyakinan emosional dan subjektif lokal kultural.
Dalam dunia modern saat ini, agama terperangkap ke dalam suatu institusi. Masing-masing lembaga institusional agama saling bersaing secara negatif, bahkan sering kali secara negatif. Maka, terjadi rebutan popularitas dan populasi. Tambahan lagi, agama sebagai institusi berkonfrontasi dengan institusi lain yang justru sering menyebabkan hilangnya hakekat agama sebagai suatu kumpulan organisme dinamis yang berurusan dengan khasanah rohani.
Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. Joseph Ward Swain, M.A., London: George Allen & Unwin Ltd, 1968, pp. 24, 29. Lihat khususnya Chapter I: “Definition of Religious Phenomena and of Religion”, pp. 23-47.
“What is real is destined for destruction by the very knowledge it has of reality: knowledge is ambiguous and leads the hero to his undoing.” Kalimat Levinas tersebut muncul ketika ia membahas Scandal of Death from Hegel to Fink. Emmnuel Levinas, God, Death, and Time. Bettina Bergo (trans), California: Stanford University Press, 2000, p. 88. Selaras dengan pengetahuan tentang kematian, pengetahuan tentang Allah bisa juga mereduksi dan mendestruksi realitas adikodrati dan pribadi ilahi.
Anton Vergote, Guilt and Desire: Religious Attitudes and Their Pathological Derivatives, M.H. Wood (Trans.). Yele: Yale University Press, 1988, p. 3. Bacalah Bab “Religion and Pathology: Guideline” pp. 3-39.
Objek dari Yang Kudus disebut nomen yang mengandung elemen mysterium tramendum et fascinans di mana di dalamnya kita menemukan kekayaan the unsayable experience. Lihat Rudolf Otto, The Idea of the Holy: An Inquiry into the Non-Rational Factor in the Idea of the Divine and Its Relational to the Rational, trans. John W. Harvew. Harmondsworth (Middlesex: Penguin Books, 1959), pp. 26-55. Otto berpendapat bahwa pengalaman religius sebagai the unsayable experience of the Holy yang mengatasi penjelasan konseptual. “‘Holiness’, –‘the holy’– is a category of interpretation and valuation peculiar to the sphere of religion. It is indeed, applied by transference to another sphere–ethics– but it is not itself derived from this. While it is complex, it contains a quite specific element or ‘moment’ which sets it apart from ‘the rational’ in the meaning we gave to that word above, on which remains unexpressible –an or ineffabile– in the sense that it completely eludes apprehension in terms of concepts.” Ibid., p. 19.
For Paul Tillich, the courage to be has many meanings. The courage to be means to have the courage of confidence in God despite absolute doubt and meaninglessness, the courage to accept the acceptance of unacceptable in spite of the anxiety of guilt, sin, fate, and death. In other words, the courage to be is the power of self-affirmation of being in spite of the fact of non-being. See Paul Tillich, The Courage to Be, New Haven: Yale University Press, 1953, pp. 155-190.
Peter L. Berger, A Rumour of Angels, 1973, p. 118.
Gagasan Spinoza ini diuraikan dengan sangat baik oleh Herman de Dijn dalam bab III Chapter nine: On God. Herman de Dijn, Spinoza: The Way to Wisdom, West Lafayette: Purdue University Press, 1996, pp. 195-213.
Angeloi Theou bukan per se para nabi. Salah satu ciri nabi sejati dalam Kitab Suci Perjanjian Lama adalah karena ia memiliki keprihatinan yang sama dengan Allah. Maka, seorang nabi sering disebut sebagai pathos ilahi, pribadi yang sehati-seperasaan dengan Allah. Jürgen Moltmann menulis bahwa Abraham Hescel-lah yang menyatakan bahwa nabi itu adalah pathos Allah. “De profeten hadden geen ‘idee’ van God, maar zagen zichzelf en het volk in een Godssituatie. Deze Godssituatie noemt Hescel het pathos van God.” Jürgen Moltmann, De Gekruisigde God: Het Kruis van Christus als Fundament en als Kritische Instantie van Christelijke Theologie, drs. A.J.M. Sturkenboom (trans), Westland, Merksem: Ambo, Bilthoven, 1972, p. 257. Mengutip Abraham Heschel, Jürgen Moltmann juga menulis bahwa orang yang berada dalam situasi pathos Allah menjadi homo sympatheticus. Di sana terjadi unio sympathetica dengan Allah. “Maar in de situatie van het pathos van God wordt de mens tot een homo sympatheticus…Hij komt met God niet in een unio mystica, maar in een unio sympathetica., p. 259.
Peter L. Berger, A Rumour of Angels, 1973, p. 118.
Lihat., Ibid., hlm. 120.
Peter L. Berger, The Heretical Imperative, London, 1980, p. XI. Bagi Berger ada tiga cara kemungkinan reposisi dan reafirmasi religi, yaitu deduktif, reduktif, dan induktif. Cara induktif dipandang sebagai cara efektif dalam dunia pluralis. Kemungkinan deduktif adalah opsi untuk mengukuhkan kembali tradisi awal dalam religi pada dunia sekular saat ini. Akibatnya adalah munculnya kaum fundamentalis yang merasa tak berdaya berhadapan dengan sekularisme. Kemungkinan reduktif adalah opsi untuk mereduksi tradisi-tradisi religius yang tidak sesuai dengan dunia sekular dan menyesuaikan diri dengan dunia sekular. Akibatnya adalah lahirnya agama-agama oportunis yang melakukan banyak proses sikretisme.
Ada empat relasi yang mungkin antara agama dengan urusan non-agama. Ketika membahas relasi agama dan ilmu, John Haught mengatakan ada 4 kemungkinan relasi agama dengan ilmu: 1) Konflik menyatakan bahwa agama dan ilmu pengetahuan tidak dapat bersatu karena mempunyai wilayan yang berbeda satu sama lain; 2) kontras menyatakan bahwa agama dan ilmu pengetahuan tidak ada harus berkonflik satu dengan yang lainnya karena keduanya mempunyai cara menanggapi persoalan yang sama sekali berbeda, jangan dikait-kaitkan; 3) Kontak menyatakan bahwa agama dan ilmu harus berusaha mencari dialog atau interaksi dan relasi antara agama dan ilmu pengetahuan; 4) konfirmasi menyatakan bahwa pada tingkatan yang paling dalam religi itu justru mendukung dan menyuburkan pencarian ilmiah dan sebaliknya pengetahuan ilmiah mendukung posisi agama. Hal ini bisa diterapkan juga dalam relasi antara urusan agama dengan dunia. John F. Haught, Science & Religion, From Conlict to Conversation. Paulust Press, Mahwah, New Jersey, 1995, pp. 9-25.
Bagian ini diambil dari “The Body, Ritual and Liturgy in the Premodern World” karya David Rorevell, Losing the Sacred: Ritual, Modernity and Liturgical Reform, Edinburgh, T&T Clark, 48-79.
David Rorevell, Ibid., 48.
David Rorevell, Ibid., 49.
Torevell menulis: “the senses are then able to act as messengers to the inner self”. David Torevell, Ibid.
David Torevell, Ibid., 57.
David Torevell, Ibid., 58.
David Torevell, Ibid., 59.
David Torevell, Ibid., 66.
René Descartes, Meditation on First Philosophy, Notre Dame: University of Notre Dame Press, 39.
Charles Taylor, Ibid., 146. Penjelasan berkiatan dengan Descartes bisa ditemukan dalam “Descartes’s Disengaged Reason”, 143-158.
Penjelasan Taylor berkiatan dengan konsep ketak-bertubuhan Descartes ini bisa ditemukan dalam “Descartes’s Disengaged Reason”, Charles Taylor, Ibid., 143-158.
Responses of His Holiness Benedict XVI to the Questions posed by the Bishon, in the meeting with the bishop of the United States of America, National Shrine of the Immaculate Conception in Washington, D.C., Wednesday, 16 April 2008.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar